Selasa, 21 Juni 2011

TINJAUAN ALTERNATIF-KRITIS TERHADAP INSTRUMEN KEBIJAKAN MONETER KONVENSIONAL: PENDEKATAN PEMIKIRAN UMER CHAPRA

Oleh: Hilman Fauzi Nugraha


1.      Latar Belakang
Dalam perkembangan sejarah peradaban manusia, peranan uang dirasakan sangat penting. Hampir tidak ada satu pun bagian dari kehidupan ekonomi manusia yang tidak terkait dengan keberadaan uang. Pengalaman menunjukkan bahwa jumlah uang yang beredar di luar kendali dapat menimbulkan konsekuensi atau pengaruh yang buruk bagi perekonomian secara keseluruhan. Konsekuensi atau pengaruh buruk dari kurang terkendalinya perkembangan jumlah uang beredar tersebut antara lain dapat dilihat pada kurang terkendalinya perkembangan variable-variabel ekonomi utama, yaitu tingkat produksi (Output) dan harga (Price Stability).
Peningkatan jumlah uang beredar yang berlebihan dapat mendorong peningkatan harga melebihi tingkat yang diharapkan (Inflation) sehingga dalam jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, apabila peningkata jumlah uang beredar sangat rendah, maka kelesuan ekonomi akan terjadi (deflation). Apabila hal ini berlangsung sangat rendah, kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan pada gilirannya akan mengalami penurunan. Kondisi tersebut antara lain melatar belakangi upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini otoritas moneter (central banking) suatu Negara dalam mengendalikan jumlah uang beredar dalam perekonomian. Kegiatan pengendalian jumlah uang beredar tersebut lazimnya disebut dengan kebijakan moneter, yang pada dasarnya merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro yang ditempuh oleh otoritas moneter.
Kebijakan moneter konvensional (kebijakan moneter yang telah/sedang digunakan) pada nyatanya belum mampu mewujudkan tujuan jangka pendek (Tingkat Produksi dan stabilitas harga) ataupun jangka panjang (national welfare). justru sebaliknya, yang terjadi di Negara sedang berkembang (NSB) ialah krisis ekonomi dari sisi moneter yang berlangsung secara kontinuitas, tingkat harga yang berfluktuatif mengarah pada inflasi yang tinggi karena tidak didukung dengan tingkat produksi yang optimal, kemiskinan yang tidak pernah selesai akibat decoupling (sektor moneter unequivalent sektor riil), pengangguran merajarela karena tidak didukungnya dunia usaha oleh kebijakan perbankan, dan pada akhirnya Negara sedang berkembang (NSB) mengalami kesulitan untuk melakukan eksplorasi pembangunan ekonomi menuju negara maju karena terjerat permasalahan ekonomi fundamental (Inflasi, pendapatan nasional rendah, ataupun utang).
Kegagalan kebijakan moneter konvensional ini tidak lain disebabkan oleh instrument dari kebijakan moneter itu sendiri. Amunisi kebijakan moneter konvensional yang teguh dengan instrument suku bunga dan pada instrument lain yang dikaitkan pula dengan suku bunga diduga sebagai penyebab dari kegagalan kebijakan moneter seutuhnya. Sehingga strategi yang signifikan untuk mengembalikan  hakikat kebijakan moneter dalam mengatur jumlah uang beredar demi tercapainya optimalisasi tingkat produksi dan stabilisasi harga dalam rangka mewujudkan kesejahteraan ialah merubah instrumen kebijakan moneter yang berdasarkan pada bunga kepada instrumen kebijakan moneter yang terhindar/terlepas dari bunga (riba).
Umer Chapra seorang cendikiawan dan ekonom muslim memilki pandangan mengenai system moneter Islam, termasuk didalamnya kebijakan moneter melalaui pendekatan Islam. Artinya kebijakan moneter yang tidak mengikutsertakan instrument variable bunga, karena jelas dalam Islam bunga diharamkan sehingga kegelisahan mengenai instrument kebijakan moneter yang gagal karena intrumen suku bunga dapat diantisipasi melalui pendekatan instrument kebijakan moneter islam dengan menghilangkan variebel bunga dalam pandangan umer chapra. Sehingga pada akhirnya dengan tawaran instrument kebijakan moneter Islam (non interest) mampu mewujudkan tujuan ekonomi jangka pendek ataupun jangka panjang.
Maka tulisan ini akan membahas tentang tinjauan alternative (telaah berbeda yang  dapat dijadikan solusi) dan kritis (telaah sebab-akibat) terhadap instrumen kebijakan moneter konvensional melalui pendekatan Umer Chapra.


2.      Landasan Teori dan Studi Literatur
2.1  Kebijakan Moneter Konvensional[1]
Kebijakan moneter adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan perekonomian makro ke kondisi yang diinginkan (yang lebih baik) dengan mangatur jumlah uang yang beredar. Yang dimaksud dengan kondisi lebih baik adalah meningkatnya output keseimbangan dan atau terpeliharanya stabilitas harga (inflasi terkontrol). Melalui kebijakan moneter pemerintah dapat mempertahankan, menambah, atau mengurangi jumlah uang beredar dalam upaya mempertahankan kemampuan ekonomi bertumbuh, sekaligus mengendalikan inflasi[2].  
Kebijakan moneter dapat diartikan pula sebagai kebijakan otoritas moneter atau bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter[3] untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan. Dalam praktek, perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan tersebut adalah stabilitas ekonomi makro yang antara lain dicerminkan oleh stabilitas harga (rendahnya laju inflasi), membaiknya perkembangan output riil (pertumbuhan ekonomi), serta cukup luasnya lapangan/kesempatan kerja yang tersedia[4].
Kebijakan moneter yang disebutkan di atas merupakan bagian integral dari kebijakan ekonomi makro, yang pada umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan siklus kegiatan ekonomi, sifat perekonomia suatu Negara tertutup dan terbuka, serta factor-faktor fundamental lainnya. Dalam pelaksanaanya, strategi kebijakan moneter dilakukan berbeda-beda dari suatu Negara dengan Negara lain, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan mekanisme transmisi yang diyakini berlaku pada perekonomian yang bersangkutan. Berdasarkan strategi dan transmisi (instrument) yang dipilih, maka dirumuskan kerangka kebijakan moneter[5].
Instrumen suku bunga merupakan instrument utama kebijakan moneter konvensional, artinya setiap instrument apapun dalam konvensional senantiasa menghadirkan variable suku bunga dalam pelaksanaanya. Hal inilah akhirnya membuat kebijakan moneter yang dirancang untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar untuk tujuan mengoptimalkan output (GDP) dan menjaga stabilitas harga tidak pernah tercapai (dibaca: tidak efektif)[6].

2.2  Kebijakan Moneter Islam (Tanpa Bunga)[7]
Bunga sesungguhnya merupakan sumber permasalahan yang mengakibatkan ketidakstabilan perekonomian. Dalam perekonomian islam, sector moneter tidak mengenal suku bunga. System moneter islam menerapkan system pembagian keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing), bukan kepada tingkat bunga yang telah menetapkan tingkat keuntungan dimuka. Besar kecilnya pembagian keuntungan yang diperoleh berdasarkan kegiatan usaha (investasi) dan pemberian dana kepada sector riil. Artinya dalam system moeneter Islam (Kebijakan Moneter) memilki ketergantungan pada sector riil[8].
Dalam perekonomian islam, keseimbangan antara aktivitas ekonomi riil dengan tinggi rendahnya jumlah uang beredar senantiasa dijaga. Salahsatu instrument untuk menjaga adalah system keuangan islam yang bebas dari bunga. Sedangkan dalam kebijakn moneter konvensional yang menggunakan suku bunga sebagai pengatur dalam mengelola jumlah uang beredar didapatkan tidak efektif. Hal ini didasarkan pada motif permintaan uang dalam islam, hanya didasari oleh motif transaksi dan berjaga-jaga, sedang dalam ekonomi konvensional ada motif lain (dikenal dengan motif spekulasi) yang seutuhnya lahir dari adanya suku bunga yang spekulatif[9].

2.3  Intrument Kebijakan Moneter Konvensional
Sebelum membahas tentang instrumen-instrumen dalam kebijakan moneter konvensional, perlu diketahui bahwa kebijakan moneter dilakukan dalam dua kerangka, yaitu dapat ditempuh kebijakan moneter Ekspansif (Monetary Expansive), ataupun kebijakan moneter kontraktif  (Monetary Contractive)[10].
Untuk melakukan kerangka kebijakan moneter diatas, terdapat tiga instrument utama yang digunakan untuk mengatur (menambah-mengurangi) jumlah uang beredar, antara lain : (a) Operasi Pasar terbuka (Open Market Operation), (b) Fasilitas Diskonto (Discount Rate), dan (c) Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)[11]. Diluar tiga instrument tersebut (yang merupakan kebijakan moneter bersifat kuantitatif), otoritas moneter dapat melakukan instrument (d)  imbauan moral (Moral Persuasion)[12].

a.      Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Yang dimaksud dengan operasi pasar terbuka (Open Market Operation) adalah pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar dengan cara menjual atau membeli surat-surat berharga milik pemerintah (government securities). Jika otoritas moneter ingin mengurangi jumlah uang beredar, maka pemerintah menjual surat-surat berharga (open market selling). Dengan demikian uang yang ada dalam masyarakat mengalir ke otoritas moneter, sehingga jumlah uang bererdar berkurang. Akan tetapi sebaliknya jika otoritas moneter ingin menambah jumlah uang beredar, maka pemerintah membeli kembali surat-surat berharga tersebut (open market buying). Guna lebih mengefektifkan operasi pasar terbuka ini, otoritas moneter (dalam hal ini di Indonesia Bank Indonesia) telah mengembangkan kedua instrument tersebut dengan menambahkan fasilitas repurchase agreement (repo) ke masing-masing instrument, atau lebih dikenal SBI repo dan SBPU repo. Dan ini tidak lain digerakkan atau distimulisasi menggunakan variable bunga[13].
  1. Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Adalah tingkat bunga yang dikenakan bank sentral ketika member pinjaman kepada bank-bank. Bank meminjam dari bank sentral ketika cadangan mereka terlalu sedikit untuk memenuhi persyaratan cadangan . Semakin kecil tingkat diskonto, semakin murah cadangan yang dipinjamkan, dan semakin banyak bank yang meminjam dengan fasilitas discount window bank sentral. Jadi, penurunan tingkat diskonto meningkatkan basis moneter dan jumlah uang beredar[1].
Secara lebih mendalam yang dimaksud dengan tingkat bunga diskonto adalah tingkat bunga yang ditetapkan pemerintah atas bank-bank umum yang meminjam ke bank sentral. Dalam kondisi tertentu, bank-bank mengalami kekurangan uang, sehingga mereka harus meminjam kepada bank sentral. Kebutuhan ini dimanfaatkan oleh otoritas moneter untuk mengurangi atau menambah jumlah uang beredar.
Bila pemerintah ingin menambah jumlah ung beredar, maka pemerintah menurunkan tingkat bunga pinjaman (tingkat diskonto). Dengan tingkat bunga pinjaman yang lebih murah, maka keinginan bank-bank untuk meminjam uang dari bank sentral menjadi lebih besar,. Sehingga jumlah uang beredar bertambah. Sebaliknya apabila pemerintah ingin mengurangi jumlah uang beredar, maka tingkat bunga pinjaman dinaikkan, hal ini akan mengurangi keinginan bank-bank meminjam uang dari bank sentral, sehingga pertambahan jumlah uang beredar dapat ditekan[2].
  1. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Penetapan rasio cadangan wajib juga dapat mengubah jumlah uang beredar. Jika rasio cadangan wajib diperbesar, maka kemampuan bank memberikan kredit akan lebih kecil disbanding sebelumnya. Misalnya, jika rasio cadangan wajib mulanya hanya 10%, maka untuk setiap unit deposito yang diterima, perbankan dapat mengalirkan pinjaman sebesar 90% dari deposito yang diterima perbankan. Dengan demikian angka multiplier uang dari system perbankan adalah 10. Dan begitu seterusnya, artinya jika otoritas moneter ingin menambah jumlah uang beredar maka dari instrumen rasio cadangan wajib ialah menurunkan jumlah rasio cadangannya, akan tetapi jikalau ingin mengurangi jumlah uang beredar, maka rasio cadangan wajibnya dinaikkan[1].
  1. Imbauan Moral (Moral Persuasion)
Dengan imbauan moral, otoritas moneter mencoba mengarahkan atau mengendalikan jumlah uang beredar. Misalnya, Gubernur bank sentral dapat member saran agar perbankan berhati-hati dengan kredit atau membatasi keinginannya meminjam uang dari bank sentral (berhati-hati menggunakan fasilitas diskonto)[1].


Studi Literatur
1.1  Strategi Kebijakan Moneter (Pendekatan Pemikiran Umer Chapra[2])
Dalam sebuah perekonomian islam, permintaan terhadap uang akan lahir terutama dari motif transaksi dan tindakan berjaga-jaga yang ditentukan pada umunya oleh tingkatan pendapatan uang dan distribusinya. Permintaan terhadap uang karena motif spekulatif pada dasarnya didorong oleh fluktuasi suku bunga pada perekonomian kapitalis. Suatu penurunan dalam suku bunga dibarengi dengan harapan tentang kenaikannya akan mendorong individu dan usaha untuk meningkatkan jumlah uang yang dipegang. Karena suku bunga seringkali berfluktuasi pada perekonomian kapitalis, terjadilah perubahan terus-menerus dalam jumlah uang yang dipegang oleh publik. Penghapusan bunga dan kewajiban membayar zakat dengan laju 2,5%/tahun tidak saja akan meminimalkan permintaan spekulatif terhadap uang dan mengurangi efek suku bunga “terkunci”, tetapi juga akan memberikan stabilitas yang lebih besar bagi permintaan agregat terhadap uang[3].
Karena itu variabel yang digunakan dalam suatu kebijakan moneter yang diformulasikan dalam sebuah perekonomian islamadalah cadangan uang (Stock of Money)daripada suku bunga. Bank sentral Islam harus menjalankan kebijakan moneternya untuk menghasilkan suatu pertumbuhan dan sirkulasi uang yang mencukupi untuk membiayai pertumbuhan potensial dalam output selama periode jangka menengah dan panjang dalam kerangka harga-harga yang stabil dan sasaran sosioekonomi lainnya. Tujuannya adalah menjamin bahwa ekspansi moneter tidak bersifat “kurang mencukupi” atau “berlebihan”, tetapi cukup untuk sepenuhnya mengeksploitasi kapasitas perekonomian agar dapat mensuplai barang-barang dan jasa bagi kesejahteraan yang berbasis luas. Laju pertumbuhan yang dituju harus bersifat berkesinambungan, ralistis, serta mencakup jangka menengah dan panjang, dan tidak kurang realistis dan sukar diperkirakan[4].
Sementara strategi diatas mengakui pentingnya mengatur pertumbuhan suplai uang untuk mengelola perekonomian secara baik, tidak berarti dengan sendirinya mengandung pengertian suatu pendekatan monetaris yang sederhana atau suatu komitmen kepada segi-segi ideologinya. Tak ada anggapan bahwa kekuatan pasar yang dibiarkan sendiri akan dapat menghasilkan pertumbuhan noninflasioner, menghapuskan pengangguran, mengurangi ketidakseimbangan eksternal, dan membantu merealisasikan sasaran-sasaran lainnya yang diinginkan jika pertumbuhan dalam suplai uang secara tepat diatur. Sebenarnya, harus ditekankan bahwa untuk sepenuhnya merelaisasikan sasaran Islam, tidak saja harus melakukan reformasi perekonomian dan masyarakat sejalan dengan garis-garis Islam, tetapi juga memerlukan peran positif pemerintah dan semua kebijakan Negara termsuk kebijakan moneter melalui instrumen yang seutuhnya mampu mewujudkan keinginan atau cita-cita secara keseluruhan[5].
Diantara turunan dari strategi kebijakan moneter Islam dalam kacamata Umer Chapra, dalam hal ini ketika otoritas moneter mengambil kebijakan Expansive Monetary ialah dua diantaranya domestic, yakni (1) membiayai deficit anggaran pemerintah dengan meminjam dri bank sentral, (2) ekspansi deposito melalui penciptaan kredit pada bank-bank komersial,dan (3) bersifat eksternal, yaitu “menguangkan” surplus neraca pembayaran luar negeri[6].
      
2.5. Instrumen Kebijakan Moneter (Pendekatan Pemikiran Umer Chapra)
Dalam kerangka strategi yang telah dijelaskan diatas, dapat diajukan mekanisme kebijakan moneter yang tidak saja akan membantu mengatur penawaran uang seirama dengan permintaan riil terhadap uang, tetapi juga membantu memenuhi kenutuhan untuk membiayai defisit pemerintah yang benar-benar riil dan mencapai sasaran sosioekonomi masyarakat islam lainnya. Mekanisme terdiri atas enam elemen[7]. Antara lain : 
(1)   Target Pertumbuhan dalam M dan M0[8]
Setiap tahun, bank sentral harus menentukan pertumbuhan peredaran uang yang diinginkan (M) sesuai dengan sasaran ekonomi nasional, termasuk laju pertumbuhan ekonomi yang diinginkan, tetapi yang berkesinambungan dan stabilitas mata uang. Target pertumbuhan dalam M ini harus dilihat ulang setiap kuartal atau kapan saja bila diinginkan dengan melihat kinerja perekonomian dan variabel-variabel penting lainnya. Hal ini disebabkan karena target moneter menganggap bahwa kecepatan pendapatan uang (income velocity of money) dapat diprediksi dengan tepat selama periode tersebut.
Mengingat telah diakui bahwa pertumbuhan pada M berkaitan erat dengan pertumbuhan dalam M0 atau uang berdaya tinggi (high powered money) yang didefinisikan sebagai mata uang dalam sirkulasi deposito pada bank sentral, bank sentral harus mengatur ketersediaan dan pertumbuhan M0. Karena penciptaan M0 terjadi karena hak khusus yang dinikamti oleh bank sentral untuk menciptakan uang, maka sumber-sumber daya yang dapat diturunkan dari kekuatan ini harus dimanfaatkan hanya untuk memenuhi sasaran masyarakat islamyang berorientasi kepada kesejahteraan social.
Untuk merealisasikan tujuan diatas, bank sentral harus membuat total M0 yang diciptakannya tersedia, sebagian bagi pemerintah dan sebagian bagi bank komersil dan lembaga keuangan khusus. Proporsi M0 yang dialihkan penggunanya oleh bank sentral bagi masing-masing lembaga ini harus ditentukan oleh kondisi perekonomian, sasaran ekonomi islam, dan keinginan kebijakan moneter. Sebagian dari M0 diberikan kepada pemerintah untuk membiayai proyek-proyek kepentingan sosialnya, termasuk penyediaan perumahan, fasilitas kesehatan dan pendidikan bagi yang miskin.
Sebagian M0 yang diberikan kepada bank komersil, yang pada umumnya dalam bentuk pinjaman mudharabah dan bukan mengandung diskonto, harus dipergunakan oleh bank sentral sebagai alat control kualitatif dan kuantitatif untuk mengontrol kredit. Sebagian Mo yang diberikan dengan metode mudharabah harus dipergunakan terutama untuk membiayai aktivitas produktif seperti wirausaha, pertanian, dsb. Sebagian laba yang diraih oleh bank sentral dari pinjaman ini harus diberikan kepada pemerintah untuk dipergunakan untuk proyek kesejahteraan sosial.
(2)   Saham Publik terhadap Deposito Unjuk (Uang Giral)[9]
Sebagian uang giral sampai ukuran tertentu, misalnya 25% harus dialihkan kepada pemerintah untuk memungkinkannya membiayai proyek-proyek yang bermanfaat demi terwujudnya kesejahteraan social. Salahsatu cara yang penting dalam menggunakannya untuk kemaslahatan umum adalah dengan mengalihkan sebagian deposito unjuk yang dimobilisasi kepada pembendaharaan public untuk membiayai proyek-proyek yang bermanfaat secara social tanpa memaksakan beban pada pundak public lewat pajak yang dikumpulkan untuk tujuan ini oleh pembendaharaan. Seperti yang telah ditunjukkan di depan, pemerintah harus memikul beban sebagian ongkos total memobilisasi unjuk, memberikan pelayanan kepada para deposan yang berkaitan dengan deposito ini, dan membaiayai skema asuransi deposito.
(3)   Cadangan Wajib Resmi[10]
Bank-bank komersil diwajibkan untuk menahan suatu proporsi tertentu, misalnya 10%-20%, dari deposito unjuk mereka dan disimpan di bank sentral sebagai cadangan wajib. Bank sentral harus membayar ongkos memobilisasi deposito ini kepada bank-bank komersil, persis seperti pemerintah menanggung ongkos memobilisasi 25% deposito unjuk yang dialihkan kepada pemerintah. Cadangan resmi ini dapat divariasikan oleh bank sentral dengan anjuran kebijakan moneter.
Dana-dana yang diterima oleh bank sentral melalui kewajiban cadangan resmi dapat dipergunakan untuk memungkinkannya dengan dua tujuan. Sebagian dari dana harus dipergunakan untuk memungkinkannya melayani pinjaman sebagai lender of last resort. Sisa dana yang ditingkatkan melalui cadangan wajib dapat diinvestasikan oleh bank sentral islam, seperti yang dilakukan oleh bank sentral kapitalis. Karena obligasi pemerintah yang mengandung bunga tidak tersedia, bank sentral islam harus menemukan lahan-lahan alternative bebas bunga untuk investasi. Bagaimanpun juga, ia harus menahan diri melakukan investasi berapaun dana yang ia anggap perlu untuk mengelola kebijakan moneter.
(4)   Pembatasan Kredit[11]
Alat-alat yang disebutkan di atas akan mempermudah bank sentral dalam melakukan ekspansi yang diinginkan pada uang berdaya tinggi, ekspansi kredit masih dapat melebihi batas yang diinginkan. Hal ini disebabkan karena: pertama, tidak mungkin menentukan secara akurat kucuran dana kepada sistem perbankan, selain yang telah disediakan oleh pinjaman mudharabah bank sentral, terutama dalam sebuah pasar uang yang masih kurang berkembang, seperti yang ada di Negara-negara muslim; kedua, hubungan antara cadangan bank komersial dan ekspansi kredit tidak akurat benar. Prilaku sirkulasi uang merefleksikan sebuah interaksi yang kompleks oleh berbagai faktor internal dan eksternal perekonomian. Karena itu, perlu menetapkan batasan pada kredit bank komersil untuk menjamin bahwa penciptaan kredit total adalah konsisten dengan target-target moneter. Dalam alokasi batasan di antara bank-bank komersial individual, perlu melakukan kehati-hatian sehingga terjamin terwujudnya kompeteisi yang sehat di antara bank-bank. 
(5)   Alokasi Kredi (Pembiayaan) yang berorientasi pada nilai[12]
Mengingat kredit bank terjadi karena dana yang dimiliki oleh public, kredit harus dialokasikan dengan bijak agar bias membantu mewujudkan kemaslahatan umat. Criteria untuk alokasi ini, seperti dalam kasus-kasus sumber daya yang disediakan Allah pada umumnya, harus mewujudkan sasaran masyarakat islam dan kemudian memaksimalkan keuntungan pribadi. Hal ini dapt dicapai dengan menjamin bahwa: (1) Alokasi kredit akan menimbulkan suatu produksi dan distribusi optimal bagi barang dan jasa yang diperlukan oleh sebagian besar anggota masyarakat, dan (2) manfaat kredit dapat dirasakan oleh sejumlah besar kalangan bisnis di masyarakat. Cara yang tepat untuk mencapai tujuan pertama adalah dengan mempersiapkan suatu pencernaan yang berorientasi kepada nilai kemudian menyambungkan perencanaan ini dengan system perbankan komersial untuk implementasi yang efisien[13].
(6)   Tekhnik Lain[14]
Bank sentral melalui kontak personalnya,konsultasi dan rapat dengan bank-bank komersial, dapat saling bahu-membahu menjaga kekuatan dan memecahkan persoalan perbankan serta memberikan saran kepada mereka dengan tindakan-tindakan yang diperlukan yang diperlukan untuk mengatasi kesulitan dan mencapai tujuan yang diinginkan.
Diluar instrumen suku bunga dan operasi pasar yang biasa digunakan oleh sistem perbankan konvensional, setidaknya terdapat tiga instrumen yang dipakai oleh bank sentral untuk menciptakan suatu dampak yang lebih langsung pada cadangan bank-bank komersial, yakni (1)  uang giral pemerintah yang terdapat pada bank-bank komersial; (2) persetujuan tukar-menukar mata uang asing oleh bank sentral dengan bak komersial; dan (3) “pengumpulan umum.” Sekiranya cadangan bank-bank komersial ingin ditingkatkan atau dikurangi, bank sentral bias saja diberi kekuasaan untuk berbuat demikian-menggeser uang giral pemerintah kea tau dari bank komersial. Dengan demikian, akan mempengaruhi cadangan mereka secara langsung.
Disamping tiga instrument diatas, dapat jga mempergunakan tiga instrument berikut, yang telah banyak disarankan oleh literature perbankan Islam, yaitu : (1) Membeli dan menjual saham dan sertifikat bagi hasil untuk menggantikan obligasi pemerintah dalam operasi pasar, (2) rasio pemberian kembali pembiayaan, dan (3) rasio pemberian pinjaman[15].        


Pembahasan
Dilihat dari sector ekonomi, kebijakan moneter seutuhnya diartikan sebagai salah satu dari langkah-langkah pemerintah dalam mewujudkan stabilitas ekonomi yang lebih baik. Dengan mengasumsikan kestabilan ekonomi dituju melalui pengaturan peredaran jumlah uang beredar demi mewujudkan tujuan jangka pendek (optimalisasi tingkat produksi & stabilitas harga) dan tujuan jangka panjang (kesejahteraan sosial) maka pemerintah melakukan kebijakan moneter.
Hal inilah yang mendasari adanya kebijakan moneter, baik konvensional ataupun Islam. Secara sederhana kebijakan moneter konvensional dan Islam terlihat tidak berbeda (sama), akan tetapi apabila diperhatikan lebih seksama diantara keduanya (antara kebijakan moneter konvensional-Islam) memilki banyak perbedaan, dilihat dari sisi fundamental, proses, ataupun tujuannya. 
Dari gambar diatas dijelaskan secara sederhana tentang perbedaan secara mendasar antara kebijakan moneter konvensional dan kebijakan moneter Islam. Secara tegas disebutkan bahwa perbedaan mendasar antara kebijakan moneter konvensional dan Islam ialah dilihat dari asumsi utama dalam (1) pemahaman mendasar mengenai  motif permintaan uang, dan (2) intrumen kebijakan moneternya (Interest and No Interest). Sedangkan dalam tujuan jangka pendeknya, kebijakan konvensional-islam bersama-sama ingin meningkatkan optimalisasi tingkat produksi dan menjaga stabilitas harga.
Perbedaan yang paling signifikan antara kebijakan moneter konvensional dan Islam diatas ialah dari instrumen kebijakan moneternya. Kebijakan moneter konvensional menggunakan variebel suku bunga sebagai stabilator intrumen kebijakan moneternya, antara lain: (1) Operasi pasar terbuka[1], (2) Fasilitas diskonto[2], (3) Rasio cadangan wajib[3], dan (4) Imbauan moral[4]. Sedangkan Instrument kebijakan moneter Islam menekankan pada instrumen yang terbebas dari variabel suku bunga, instrumen kebijakan moneter seperti ini setidaknya dapat dijelaskan atau ditawarkan melalui pendekatan pemikiran Umer Chapra mengenai instrument kebijakan moneter yang tidak menggunakan variabel bunga, diantara instrument tersebut ialah[5]: (1) Target pertumbuhan dalam M dan M0, (2) Saham public terhadap deposito unjuk (uang giral), (3) Cadangan wajib resmi, (4) pembatasan kredit, (5) Alokasi kredit yang berorientasi kepada nilai, dan (6) Tekhnik yang lain.
Semua intrumen di atas memiliki karakteristik dan proses kerja berbeda, yang sesungguhnya dirancang atas asumsi situasi ekonomi yang sedang atau akan terjadi. Instrumen (1) Target pertumbuhan M dan M0, merupakan instrument kebijakan moneter dalam rangka mengatur jumlah uang beredar dengan melakukan tiga alokasi jumlah uang yang ada. Alokasi tersebut dibagi untuk pemerintah, bank komersial, dan LKS lainnya. Akan tetapi alokasi tersebut harus sesuai dengan target pertumbuhan yang telah ditentukan, sehingga jumlah uang beredar tidak akan berlebihan atau kekurangan.
Adapun instrument (2) Saham publik  terhadap deposito unjuk, diartikan sebagai langkah instrumen kebijakan moneter dengan menganjurkan adanya mobilisasi dana dari bank komersil yang terkumpul dalam deposito untuk dialirkan kepada pemerintah, sehingga pemerintah memilki pendapatan lain selain pajak yang akan dgunakan untuk membiayai proyek-proyek kesejahteraan social, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan optimalisasi output (GDP) dan stabilisasi harga.
Instrument (3) dan instrument (4) dihadirkan hampir sejenis dengan instrument pada kebijakan konvensional, akan tetapi yang membedakan ialah tingkat suku bunganya. Pada instrument (3) ini, ketika pemerintah ingin melakukan monetary expansive maka rasio cadangan wajib diturunkan, sedangkan ketika kebijakan yang diambil ialah monetary contractive maka langkah yang dilakukan ialah sebaliknya. Selanjutnya di instrument (4) otoritas moneter membuat batasan atas alokasi kredit yang harus dikucurkan, baik dalam keadaan ekonomi booming ataupun resesi. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya decoupling (kesenjangan sector moneter-sektor riil), sehingga roda perekonomian akan berjalan beriringan. Intrumen (4) Pembatasan kredit, dilakukan berbarengan dengan instrument (5) Alokasi kredit yang berorientasi pada nilai. Berorientasi pada nilai dimaknai dengan kegiatan kredit yang dikucurkan bagi kegiatan-kegitan masyarakat dalam menyediakan barang/jasa yang dibutuhkan bersama dan alokasi bagi kegiatan wirausaha untuk usaha kecil dan menengah (UMKM).
Terakhir instrumen (6) tekhnik lain, dilakukan dengan cara-cara lain yang mampu dan telah banyak digunakan di negra islam lainnya, antara lain moral suasion, OMO (SUKUK), Refinance ratio, dan rasio peminjaman. Dengan sejumlah intrumen berdasrkan pemikiran Umer Chapra ini, Islam dapat menjalankan kebijakan moneternya dengan tanpa menggunakan variabel bunga. Penjelasan mengenai bagaimana instrument-instrumen dalam kebijakan moneter islam bekerja dalam mengatur peredaran jumlah uang beredar, sejelasnya telah disebutkan pada studi literatur diatas. Akan tetapi untuk lebih lebih jelas, instrumen tersebut dapat disederhanakan melalui gambar dibawah ini:  




[1] N. Gregory Mankiw, alih bahasa: Imam Nurmawan , Teori Makroekonomi Edisi Kelima, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal: 479
[2] N. Gregory Mankiw, alih bahasa: Imam Nurmawan , Teori Makroekonomi Edisi Kelima, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal: 480
[3] N. Gregory Mankiw, alih bahasa: Imam Nurmawan , Teori Makroekonomi Edisi Kelima, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal: 479
[4] Prathama Rahardja & Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar, (Jakarta:LP FEUI, 2005), hal:271
[5] Umer Chapra, Towards a Just Monetary System, terjemah: Ikhwan Abidin Basri, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal: 141-151
 Selanjutnya, studi alternatif-kritis mengenai instrument kebijakan moneter konvensional dalam pemikiran Umer Chapra dapat disederhanakn lebih jelas dalam tebel di bawah ini:
Tabel 1
Studi Alternatif-kritis Intrumen Kebijakan Moneter Konvensional dalam Pemikiran Umer Chapra

Instrumen
Kebijakan Moneter Konvensional*
Instrumen
Kebijakan Moneter
Islam**
(1) Operasi Pasar terbuka
(1) Target pertumbuhan M dan M0
(2) Fasilitas Diskonto
(2) Saham publik terhadap deposito unjuk
(3) Rasio Cadangan Wajib
(3) Cadangan wajib resmi
(4) Imbauan Moral
(4) Pembatasan kredit

(5) Alokasi kredit yang berorientasi pada nilai

(6)Tekhnik Lain; Moral suasion, OMO (SUKUK), refinance ratio, rasio peminjaman
Keterangan :
* Instrumen kebijakan moneter konvensional digerakkan melalui variabel bunga
** Instrumen kebijakan moneter Islam digerakkan melalui rasio bagi hasil ataupun variabel lain selain suku bunga.








Kesimpulan
Dari pembah asan mengenai  studi alternatif-kritis mengenai instrument kebijakan moneter konvensional dalam pemikiran Umer Chapra diatas, maka hal yang dapat penulis simpulkan dari tulisan ini adalah:
1.       Kebijakan moneter konvensional belum mampu mewujudkan tujuan jangka pendek (optimalisasi output & stabilisasi harga) ataupun jangka panjang (kesejahteraan) dari adanya kebijakan moneter dikarenakan masih menggunakan instrument kebijakan moneter yang berdasarkan variabel suku bunga. Sebagai alternatif, instruemn kebijakan moneter islam yang tidak didasarkan pada variabel suku bunga diduga dapat mewujudkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang.        
2.      Instrument-instrumen kebijakan moneter Islam yang dijadikan alternatif berdasarkan pemikiran Umer Chapra ialah target pertumbuhan M dan M0, saham publik terhadap deposito unjuk, cadangan wajib resmi, pembatasan kredit, alokasi kredit yang berorientasi nilai, dan tekhnik lain (Moral suasion, OMO/SUKUK, refinance ratio, rasio peminjaman).    




[1] Prathama Rahardja & Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar, (Jakarta:LP FEUI, 2005), hal:271
[2] Dr. Muhammad Umer Chapra adalah seorang pakar ekonomi yang berasal dari Pakistan. Beliau bekerja sebagai penasihat ekonomi senior pada Monetary Agency, kerajaan Arab Saudi, sejak 1965. Sebelumnya, dia mengjar mata kuliah ekonomi pada University of Wisconsin, Platteville dan University of Kentucky, Lexington, AS. Beliau juga bekerja sebagai ekonom senior dan Associate Editor Pakistan Development Review pada Pakistan Institute of Development Economics, sebagai reader pada institute of Islamic Research, Pakistan. Ia telah mempublikasikan sejumlah buku, monograf, artikel-artikel professional tentang Ekonomi Islam, serta telah memberikan kuliah secara luas tentang subjek ini di beberapa Negara muslim. Berkat kontribusinya yang beragam bagi ekonomi islam dan perannyayang begitu besar dalam pengembangan subjek ini, dia menerima anugerah (medali) pada tahun 1990 dari IDB (Islamic Development Bank ‘Bank Pembangunan Islam’) dalam bidang Ekonomi Islam dan King Faisal International Prize dalam bidang kajian Islam   
[3] M. Umer Chapra, Towards a Just Monetary System, terjemah: Ikhwan Abidin Basri, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal: 134-135
[4] M. Umer Chapra, Towards a Just Monetary System, terjemah: Ikhwan Abidin Basri, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal: 136
[5] M. Umer Chapra, Towards a Just Monetary System, terjemah: Ikhwan Abidin Basri, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal: 137
[6] M. Umer Chapra, Towards a Just Monetary System, terjemah: Ikhwan Abidin Basri, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal: 137-140
[7] M. Umer Chapra, Towards a Just Monetary System, terjemah: Ikhwan Abidin Basri, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal: 141
[8] Umer Chapra, Towards a Just Monetary System, terjemah: Ikhwan Abidin Basri, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal: 141-142

[9] Umer Chapra, Towards a Just Monetary System, terjemah: Ikhwan Abidin Basri, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal: 142-143
[10] Umer Chapra, Towards a Just Monetary System, terjemah: Ikhwan Abidin Basri, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal: 143-145
[11] Umer Chapra, Towards a Just Monetary System, terjemah: Ikhwan Abidin Basri, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal: 145
[12] Umer Chapra, Towards a Just Monetary System, terjemah: Ikhwan Abidin Basri, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal: 145-147
[13] Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan Eksklusif; Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hal: 276-277
[14] Umer Chapra, Towards a Just Monetary System, terjemah: Ikhwan Abidin Basri, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal: 147-151
[15] Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan Eksklusif; Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hal: 277-279




[1] Prathama Rahardja & Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar, (Jakarta:LP FEUI, 2005), hal:270



[1] N. Gregory Mankiw, alih bahasa: Imam Nurmawan , Teori Makroekonomi Edisi Kelima, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal: 479
[2] Prathama Rahardja & Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar, (Jakarta:LP FEUI, 2005), hal:269



[1] Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan Eksklusif; Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hal: 261
[2] Prathama Rahardja & Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar, (Jakarta:LP FEUI, 2005), hal: 269
[3] Dalam hal ini, besaran moneter (Monetary Agregates) antara lain dapat berupa uang beredar, uang primer, atau kredit perbankan. Diambil dari Perry Warjiyo & Solikin, Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia; Tinjauan Kelembagaan, Kebijakan, dan Organisasi, (Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), 2003), hal: 62
[4] Perry Warjiyo & Solikin, Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia; Tinjauan Kelembagaan, Kebijakan, dan Organisasi, (Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), 2003), hal: 62
[5] Perry Warjiyo & Solikin, Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia; Tinjauan Kelembagaan, Kebijakan, dan Organisasi, (Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), 2003), hal: 63
[6] Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan Eksklusif; Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hal: 261
[7] Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan Eksklusif; Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hal: 262
[8] Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan Eksklusif; Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hal: 262 - 263
[9] Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan Eksklusif; Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hal: 261 - 263
[10] Kebijakan moneter ekspansif (disebut juga Easy Money Policy), ditempuh apabila pemerintah ingin menambah jumlah uang beredar dalam suatu perekonomian. Sedangkan  Kebijakan moneter kontraktif (disebut juga Tight Money Policy), sebaliknya ditempuh apabila pemerintah ingin mengurangi jumlah uang beredar dalam suatu perekonomian. Dalam Prathama Rahardja & Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar, (Jakarta:LP FEUI, 2005), hal:269
[11]  N. Gregory Mankiw, alih bahasa: Imam Nurmawan , Teori Makroekonomi Edisi Kelima, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal: 475 - 479
[12]  Prathama Rahardja & Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar, (Jakarta:LP FEUI, 2005), hal:269

[13] Prathama Rahardja & Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar, (Jakarta:LP FEUI, 2005), hal:269