Selasa, 12 Januari 2010

Masharifuz Zakat

Oleh : Hilman fauzi Nugraha

I. Pendahuluan

Allah SWT, Rabb semesta alam yang mengamanahkan bumi beserta isinya kepada manusia untuk kemashlahatan alam, menjadikan manusia dengan berbagai keberagamannya untuk saling mengenal, mengasihi, dan saling tolong menolong. Allah SWT, yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, dengan kasih sayangnya menurunkan petunjuk melalui lisan Baginda Muhammad SAW berupa AlQur’an Al-Kariim sebagai petunjuk bagi orang-orang yang beriman dan sebagai rahmat bagi alam semesta. AlQur’an diturunkan sebagai kompas agar manusia tak tersesat di dunia yang fana dan agar manusia tak tenggelam dalam lautan syahwat. Kalam Ilahi tersebut mengatur segala aspek dalam kehidupan manusia, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pembicaraan mengenai bebagai aspek tersebut dilengkapi dengan sunnah Nabi yang apabila keduanya dipegang teguh oleh kaum muslimin, maka mereka takkan pernah tersesat sampai hari akhir kelak.
Secara horizontal, kedua sumber hukum tersebut membahas tentang bagaimana seharusnya seorang muslim berinteraksi dengan orang lain. Salah satu pembahasan penting dalam masalah ini adalah tentang sebuah fundament keislaman yang disebut zakat. Zakat adalah bagian harta dari individu atau kelompok muslim yang harus dikeluarkan dalam rangka pembersihan harta dan penyucian diri. Zakat adalah salah satu rukun Islam seperti yang diterangkan oleh Nabi SAW ketika beliau ditanya oleh malaikat Jibril AS “ terangkanlah padaku tentang islam! ” Maka Nabi menjawab ” engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad rasulullah dan engkau mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan berpuasa di bulan ramadhan dan melaksanakan haji bila kau mampu” (HR. Muslim dari Umar RA).
Dalam masa Rasulullah SAW dan masa Khilafah, urusan zakat, shadaqah, infaq, ghanimah, fai, dan yang sebagainya diurus oleh sebuah lembaga keuangan negara yang bernama baitul maal. Lembaga tersebut mengumpulkan, mencatat, mengklasifikasi, dan menyalurkan zakat kaum muslimin. Lembaga tersebut sangat selektif dalam pemilihan muzakki dan mustahik agar harta yang ada dalam baitul maal bersih dari harta haram dan disalurkan kepada orang-orang yang memang berhak sesuai syariat islam.
Pada masa tersebut, zakat memang menjadi instrument yang kuat yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat secara umum. Bahkan ketika zaman kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz, baitul maal kesulitan mencari orang yang berhak menerima zakat. Ini adalah bukti bahwa pemerataan kesejahteraan agar harta tidak berputar-putar di kalangan konglomerat saja, sukses dilaksanakan dengan instrument zakat. Pembagian yang selektif dan adil merupakan unsur yang penting yang menyebabkan instrument ini berjalan sesuai dengan tujuannya dan mencapainya pada masa puncak kejayaan Islam.
Makalah ini akan membahas secara terperinci tentang masharifuz zakah atau objek pembagian zakat (kadang disebut mustahik atau asnaf tsamaniyah). Pembahasan kami akan mencakup golongan-golongan yang berhak mendapatkan zakat, perbedaan-perbedaan yang terjadi di kalangan ulama mengenai golongan-golongan tersebut, tata cara pembagian, dan lain-lain. Mengenai masalah ini, kami lebih banyak merujuk pada kitab bertajuk Fiqh Zakat karangan ulama kontemporer DR. Yusuf Qardhawi dan kitab Fiqh Sunnah karangan Sayyid Sabiq rahimahumallah. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang ditemui dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sebagai manusia biasa yang tak pernah lepas dari khilaf dan dosa meminta maaf yang sebesar-besarnya dan kami menerima saran dan kritik yang membangun sebagai introspeksi diri agar menjadi insan yang lebih baik lagi.

II. MASHARIFUZ ZAKAH
Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an Al-Kariim :
                         
60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dari ayat di atas dapat kita lihat dengan jelas golongan orang yang berhak mendapat zakat. Mereka adalah :

1. Orang Fakir
2. Orang Miskin
3. Amil Zakat
4. Para Muallaf
5. Memerdekakan Budak
6. Orang yang Berhutang
7. Orang yang Dalam Perjalanan
8. Fi Sabilillah


Para golongan tersebut akan kami jelaskan secara terperinci tiap golongannya. Tiap golongan tersebut akan kami jelaskan berdasarkan kriteria masing-masing golongan, perbedaan ulama dalam pengklasifikasiannya dan besarnya zakat yang mereka terima.
A. Orang Fakir dan Miskin
Dalam surat Attaubah mengenai objek-objek zakat, disebutkan kedua golongan ini sebagai golongan sebagai prioritas pertama dan kedua dalam membagikan zakat. Ini menunjukkan bahwa islam memperhatikan betul masalah kemiskinan dan penghapusannya dengan menempatkan kedua golongan ini sebagai prioritas awal dalam pembagian zakat.
i. Definisi Fakir dan Miskin
Masalah yang timbul kemudian adalah siapakah yang dimaksud fakir dan miskin dalam ayat tersebut? Apakah kedua golongan itu sama? Ataukah kedua golongan itu berbeda?
Abu Yusuf, pengikut Abu Hanifah dan Ibnu Qasim pengikut Malik menyatakan bahwa kedua golongan tersebut adalah sama.
Berbeda halnya dengan pendapat jumhur ulama. Mereka berpendapat bahwa kedua golongan tersebut berbeda tapi berada dalam situasi yang sama. Situasi yang sama tersebut adalah mereka berada dalam kondisi kekurangan atau harta yang mereka miliki kurang dari kebutuhan mereka sehari-hari.
Seorang ahli tafsir bernama Tabari mendefinisikan fakir sebagai orang yang berada dalam keadaan membutuhkan tapi dapat menahan diri dari meminta-minta. Sedangkan miskin adalah orang yang berada dalam keadaan membutuhkan tapi tak dapat menahan diri dari meminta-minta. Perihal miskin ini diambil dari analogi Al-Quran tentang yahudi yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 61
                  •                •  •                   •       •  
61. dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, Kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk Kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi Kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, Yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta". lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi yang memang tidak dibenarkan. demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.
Dalam ayat diatas terdapat kata maskanah yang masih serumpun dengan kata miskin yang bermakna kehinaan. Yang dimaksud kehinaan disini adalah meminta-minta.
Menurut madzhab hanafi, fakir berarti orang yang memiliki harta kurang dari nilai nasab yang sah menurut hukum zakat. Adapun miskin didefinisikan sebagai orang yang tak memiliki sesuatu apapun. Sehingga menurut madzhab hanafi, kriteria mustahik dari golongan fakir dan miskin adalah :
1. Orang yang tidak memiliki apa-apa
2. Orang yang memiliki sesuatu yang tidak melebihi nisab zakat
3. Orang yang memiliki uang kurang dari nisab
4. Orang yang memiliki sesuatu yang nilainya kurang dari 200 dirham
Adapun pendapat tiga madzhab lain mengenai fakir dan miskin adalah mereka yang kebutuhannya tak tercukupi.
Yang dimaksud orang fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau penghasilannya kurang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dalam hal sandang, pangan, dan papan dan kebutuhan pokok orang yang menjadi tanggungannya. Misalnya, ia membutuhkan uang Rp. 50.000 untuk kebutuhan keluarga perhari dengan 12 anggota keluarga yang harus ia tanggung. Akan tetapi penghasilannya perhari hanya Rp. 10.000.
Yang dimaksud miskin adalah orang yang memiliki harta dan penghasilannya cukup untuk memenuhi setengah atau lebih kebutuhannya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, akan tetapi ia tidak dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut. Misalnya, ia membutuhkan uang Rp. 50.000 untuk memenuhi kebutuhan keluarga perhari dengan 12 anggota keluarga yang harus ia tanggung. Akan tetapi penghasilannya hanya Rp. 30.000 perhari.
Dari definisi kedua golongan diatas, dapat disimpulkan bahwa orang yang berhak menerima zakat dari golongan fakir dan miskin adalah salah satu dari tiga kriteria dibawah ini :
1. Mereka yang tak punya apa-apa
2. Mereka yang punya harta dan penghasilan akan tetapi tak mencukupi setengah dari kebutuhannya.
3. Mereka yang punya harta dan penghasilan untuk memenuhi setengah atau lebih dari kebutuhannya akan tetapi tidak sampai semua kebutuhannya.
ii. Bagian Zakat Untuk Fakir Miskin
Madzhab-madzhab berbeda pendapat mengenai besar zakat yang harus diberikan kepada fakir dan miskin. Pendapat-pendapat tersebut dapat kita simpulkan menjadi 2 pandangan pokok :
1. yang mengatakan bahwa fakir miskin diberi zakat secukupnya dan tidak ditentukan menurut besarnya harta zakat yang diperoleh
2. yang mengatakan bahwa fakir miskin diberi zakat sesuai dengan bagian mustahik lain.
B. Amil Zakat
Amil zakat adalah mereka yang melaksanakan segala urusan zakat, mulai dari pendataan individu penerima zakat, pengumpulan zakat, pengelolaan zakat, pencatatan, penjagaan harta zakat, penyaluran zakat, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan manajemen zakat.
Tujuan Al-Qur’an memasukkan golongan ini sebagai pihak yang berhak menerima zakat adalah bahwa zakat adalah hukum Islam yang juga harus dilaksanakan oleh negara. Negara dalam konteks pelaksanaan zakat berfungsi sebagai pembentuk badan atau lembaga keuangan kenegaraan yang bergerak dalam bidang zakat. Pemerintah harus mempersiapkan sumber daya insani yang berkompeten dalam hal pelayanan zakat. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh khilafah islam pada masa lalu dimana pemerintah pada masa itu mendirikan lembaga keuangan negara yang dinamakan baitul maal wat tamwiil yang melaksanakan segala keperluan keuangan negara, termasuk masalah zakat.
i. Syarat-Syarat Amil Zakat
Bukan sembarang orang yang bisa diamanahi sebagai amil zakat. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi amil zakat. Syarat-syarat tersebut adalah :
1. Hendaklah ia seorang muslim. Zakat adalah perkara islam, oleh karena itu hendaknya semua pihak yang terkait di dalamnya adalah seorang muslim. Hak amil zakat dalam harta zakat itu tak ubahnya upah sebagaimana pekerja yang lainnya yang tak mensyaratkan wajibnya islam sebagai keyakinan, maka sebenarnya tidak ada larangan mempekerjakan non-muslim. Akan tetapi, sungguh lebih utama mempekerjakan muslim dalam hal ini
2. Mukallaf ataupun baligh dan berakal sehat.
3. Jujur
4. Memahami hukum-hukum zakat secara menyeluruh ataupun secara terperinci dalam hal tertentu seperti zakat harta, zakat pertanian, dan lainya.
5. Mampu untuk melaksanakan amanahnya.
6. Hendaknya tidak mempekerjakan ahlul bait, atau keturunan Rasulullah SAW karena keturunan Beliau harus dijaga dari harta zakat yang tak lain adalah kotoran dari harta manusia.
7. Hendaknya amil itu laki-laki kecuali dalam urusan yang berkaitan dengan wanita seperti mengambil dan membagikan zakat kepada wanita.
8. Sebagian ulama mensyaratkan amil zakat itu seorang merdeka dan bukan hamba sahaya.
Amil zakat tetap menerima harta zakat walaupun ia adalah seorang yang kaya. Karena harta yang ia terima bukan merupakan pertolongan atas kebutuhannya. Akan tetapi merupakan upahnya mengurus zakat.
ii. Bagian Yang Diterima Oleh Amil Zakat
Amil itu adalah pegawai. Maka hendaknya ia diberi sesuai dengan pekerjaannya, tidak terlalu kecil dan tidak pula terlalu besar. Sebagian ulama berpendapat bahwa amil mendapat bagian yang sama dengan penerima zakat yang lainnya. Akan tetapi kedua hal diatas dapat dipilih karena memiliki hujjah yang kuat.

C. Muallaf
i. Macam-Macam Golongan Muallaf
1. Golongan yang diharapkan keislamannya atau keislaman kelompok serta keluarganya. Hal ini sering Rasulullah SAW lakukan kepada orang-orang yang diharapkan dapat masuk islam dan dapat mempengaruhi orang-orang sekitarnya untuk masuk islam.
2. Golongan orang yang dikhawatirkan kejahatannya. Dengan diberi harta zakat, orang-orang ini diharapkan tercegah dari berlaku jahat.
3. Golongan orang yang baru masuk islam. Mereka perlu diberi santunan agar bertambah mantap keyakinannya bahwa islam adalah agama rahmat bagi semesta alam.
4. Pemimpin dan tokoh masyarakat yang telah memeluk islam dan memiliki sahabat-sahabat orang kafir. Dengan memberi bagian zakat kepada mereka, diharapkan dapat mempengaruhi rakyat dan sahabat dari kalangan kafir untuk memeluk islam.
5. Pemimpin dan tokoh masyarakat yang telah muslim akan tetapi terlihat lemah imannya. Dengan harta zakat yang mereka terima, diharapkan dapat menambah keimanannya sehingga semangat keislamannya tumbuh dan mempengaruhi orang-orang di sekitarnya ataupun masyarakat.
6. Kaum muslimin yang tinggal di daerah perbatasan dengan daerah musuh. Mereka diberi harta zakat dengan harapan dapat mempertahankan islam di daerah islam dan membela dari serangan musuh.
7. Kaum muslim yang membutuhkan harta untuk mengurus zakat dari orang yang tak mau mengeluarkannya, kecuali dengan paksaan seperti dengan perang. Harta zakat diharapkan dapat memperlunak hati mereka.
Semua orang yang mendapatkan zakat sebagai muallaf diatas berhak mendapatkan zakat, walaupun mereka non-muslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar