Selasa, 12 Januari 2010

المقاصد الشريعة في المعاملات الماليةٍSEBUAH TINJAUAN IMPLIKASI MAQASHID TERHADAP PRILAKU EKONOMI (Analisa Ekonomi Mikro dan Makro)


BAB I

PENDAHULUAN

Rasyid Ridha membuat Salah satu syair untuk memuji terhadap dua buah kitab karya Imam asy-Syathibi (selanjutnya disebut Syathibi), yaitu al-Muwafaqat dan al-I’tisham. Bahkan ia lebih jauh memberikan dua buah gelar bagi Imam Syathibi yaitu Mujaddid fi al-Islam dengan Kitab al-Muwafaqat-nya dan al-Mushlih dengan Kitab al-I’tisham-nya.Salah satu di antara karya Syathibi yang paling populer di kalangan sarjana muslim adalah al-Muwaqaat fi Ushul asy-Syari’ah, di mana ia mengintrodusir secara sistematis apa yang kemudian disebut dengan al-Maqashid asy-Syari’ah.

Teori Maqashid selanjutnya dielaborasi lebih jauh oleh banyak cendekiawan muslim pada berbagai dimensi Islam. Urgensi dan signifikansi teori tersebut mendapatkan banyak tempat di lingkaran Islamic studies, baik itu dalam wilayah hukum, fiqh, sosial, dan tidak terkecuali dalam wilayah ekonomi.Selain itu, tidak sedikit para sarjana muslim yang menjadikan teori Maqashid sebagai sebuah obyek riset untuk penulisan karya-karya besar, baik dalam bentuk tesis, disertasi maupun karya ilmiah lainnya. Di antara beberapa karya tersebut antara lain:1. Nadhariyyatul Maqasid ‘inda al-Imam al-Syathibi (Ahmad Raisuni) 2. al-Syathibi wa Maqasid al-Syari’ah (Hammadi al-Ubaidhi) 3. Qawaid al-Maqasid ‘inda al-Imam al-Syathibi (Abdurrahman Zaid al-Kailani)4. Fikru al-Maqashid ‘inda al-Syathibi min Khilal Kitab al-Muwafaqat (Abdul Mun’in Idris)5. Masalik al-Kasyf ‘an Maqasid al-Syari’ah Baina al-Syathibi wa Ibn ‘Asyur (Abd Majid Najar)6. al-Qawaid al-Ushuliyyah ‘inda al-Syathibi (Jailani al-Marini)7. al-Syathibi wa Manhajatuhu fi Maqasid al-Syari’ah (Basyir Mahdi al-Kabisi)8. Maqasid al-Syari’ah fi Kitab al-Muwafaqat li al-Syathibi (Habib Iyad).

Tidak mungkin teori Maqashid hanyalah teori “cemen” yang tidak mempunyai spektrum luas, jika kemudian teori tersebut banyak dikaji oleh ilmuan muslim pada generasi berikutnya. Seleksi alam dalam dunia akademis agaknya telah memilih teori Maqashid sebagai sebuah teori yang mempunyai akseptabilitas tinggi di banyak kalangan umat Islam. Teori ini pun juga lebih populer jika dibandingkan dengan teori-teori yang muncul belakangan, sebut saja teori al-Hudud atau pun teori Double Movement. Selain itu, yang menarik adalah bahwa meskipun teori Maqashid bukanlah sesuatu yang genuine datang dari pemikiran Syathibi, namun demikian teori tersebut lebih melekat pada nama Syathibi. Uraian dalam makalah ini setidaknya akan mengupas tiga hal, yaitu pertama; teori Maqashid yang diawali dengan uraian tentang definisi dan sejarahnya. Yang kedua, akan dibahas pula mengenai mengapa teori Maqashid menjadi isu penting yang nyaris selalu dikaitkan dalam Islamic Studies. Selanjutnya akan dibahas bagaimana teori Maqashid diderivasikan dalam Ekonomi Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa teori Maqashid pada dasarnya sudah pernah diintrodusir oleh para cendekiawan muslim sebelum Syathibi, walaupun kemudian Syathibi-lah yang kemudian mampu ”mengkomunikasikan” teori tersebut dalam bentuk yang well-designed. Meskipun istilah Maqashid yang dimaksud dalam uraian berikut ini lebih merujuk kepada teori yang dikonstruk oleh Syathibi, namun demikian bukan berarti akan mengeleminir dan menafikan kontribusi pihak lain yang turut membangun konsep Maqashid.

A. Definisi dan Sejarah Maqashid

Maqashid merupakan bentuk plural (jama’) dari maqshud. Sedangkan akar katanya berasal dari kata verbal qashada, yang berarti menuju; bertujuan; berkeinginan dan kesengajaan.[1] Kata maqshud-maqashid dalam ilmu Nahwu disebut dengan maf’ul bih yaitu sesuatu yang menjadi obyek, oleh karenanya kata tersebut dapat diartikan dengan ’tujuan’ atau ’beberapa tujuan.’ Sedangkan asy-Syari’ah¸ merupakan bentuk subyek dari akar kata syara’a yang artinya adalah ’jalan menuju sumber air sebagai sumber kehidupan.’[2] Oleh karenanya secara terminologis, al-Maqashid asy-Syari’ah dapat diartikan sebagai ’tujuan-tujuan ajaran Islam’ atau dapat juga dipahami sebagai ’tujuan-tujuan pembuat syari’at (Allah) dalam menggariskan ajaran/syari’at Islam.’Tidak dapat disangkal bahwa Syathibi adalah peletak dasar Ilmu Maqashid sehinga wajar jika kemudian ia disebut-sebut sebagai ”Bapak Maqashid asy-Syari’ah.” Syathibi juga yang kali pertama menyusun al-Maqashid asy-Syari’ah secara sistematis—sebagaimana Imam asy-Syafi’i dengan ilmu Ushul Fiqh yang disusunnyasehingga Maqashid lebih komunikatif dan akseptabel di kalangan sarjana muslim. Namun demikian, Maqashid pada dasarnya sudah muncul jauh sebelum Syathibi menulis teori tersebut dalam al-Muwafaqat-nya.Lalu siapakah cendikiawan muslim yang sebenarnya mengintrodusir Maqashid? Setidaknya ada dua pendapat yang dapat kita cermati untuk dapat memperoleh jawaban dari pertanyaan di atas, yaitu pendapat yang dikemukakan oleh Ahmad ar-Raysuni, dan pendapat yang diutarakan oleh Hammadi al-Ubaydi.

  1. Menurut ar-Raysuni,[3] Maqashid digunakan pertama kali oleh at-Turmudzi al-Hakim, cendekiawan muslim yang hidup pada abad 3 H. Istilah Maqashid tersebut digunakan oleh at-Turmudzi dalam beberapa kitabnya, antara lain ash-Shalah wa Maqhasiduhu, al-Haj wa Asraruhu, al-’Illah, al-’Ial asy-Syari’ah dan al-Furuq. Setelah itu, Maqashid dibahas juga oleh beberapa tokoh, antara lain Abu Mansur al-Maturidy, Abu Bakar al-Qaffal asy-Syasyi, Abu Bakar al-Abhari dan al-Baqillani.
  2. Sedangkan menurut Hammadi al-Ubaydi,[4] tokoh yang menggagas pertama kali tentang Maqashid adalah Ibrahim an-Nakhai (wafat 96 H). Beliau adalah tabi’in, yang juga kemudian menjadi guru tidak langsung dari Imam Abu Hanifah. Setelah al-Ubaydi, Maqashid kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh al-Ghazali, Izzuddin Abdussalam, Najmuddin ath-Thufi dan yang terakhir adalah Syathibi.

Ada pula yang menulis sejarah Maqashid dengan membaginya menjadi dua tahapan. Tahap pertama adalah Maqashid pada fase sebelum Ibnu Taimiyah, sedangkan fase kedua adalah Maqashid pasca Ibnu Taimiyah.[5] Pada sisi yang lain, sejarah Maqashid dapat dibagi menjadi tiga fase. Pertama; fase fase kenabian Muhammad. Fase ini adalah fase pengenalan maqashid syari’ah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah dalam bentuk sinyal-sinyal beku yang belum tercairkan, atau hanya dalam bentuk pandangan-pandangan tersirat yang belum diteorikan. Kedua; fase sahabat dan tabi’in terkemuka. Pada masa ini mulai diletakkanlah batu pertama perkembangan pesat sejarah Maqashid. Fase ketiga atau yang terakhir adalah fase teoritisasi Maqashid yang banyak diolah para cendekiawan muslim.[6]Dengan mengesampingkan perbedaan pendapat tentang asal-usul teori Maqashid namun benang merahnya adalah bahwa teori tersebut memang telah muncul jauh sebelum Syathibi mengintrodusirnya. Hanya saja beliau menyajikan kembali teori di atas dalam sebuah design yang lebih tertata, communicated dan dapat diterima oleh banyak kalangan umat Islam. Teori Maqashid dipopulerkan oleh Syathibi melalui salah satu karyanya yang berjudul al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah, sebuah kitab yang ia tulis sebagai upaya untuk menjembatani beberapa titik perbedaan antara ulama-ulama Malikiyah dan ulama-ulama Hanafiyah.[7] Dalam kajian ilmu Ushul Fiqh teori Maqashid juga merepresentasikan sebuah upaya untuk mengatasi fiqh karena ilmu Ushul yang dibangun Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i masih terjebak dalam literalisme teks dan kurang menyentuh aspek paling dalam sebuah teks. Syathibi melengkapi teori ushul fiqh klasik tersebut dalam al-Muwafaqat dan merumuskan maqashid al-syari’ah yang berpijak pada al-kulliyatu al-khamsah. Sebelum diberi nama al-Muwafaqat, kitab tersebut pada awalnya diberi judul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif. Penamaan ini dikaitkan dengan sebagian materi kitab yang berupaya mengupas berbagai segi di balik hukum taklif. Akan tetapi Syathibi merasa kurang cocok dengan nama ini sampai suatu hari ia bermimpi. Dalam mimpinya ini beliau bertemu dengan salah seorang syaikhnya, keduanya berjalan dan bercerita dengan seksama. Lalu gurunya itu berkata kepada Imam Syathibi: “Kemarin saya bermimpi melihat kamu membawa sebuah buku hasil karyamu sendiri. Lalu saya bertanya kepadamu tentang judul buku itu dan kamu mengatakan bahwa judulnya adalah al-Muwafaqat. Saya lalu bertanya kembali maknanya dan kamu menjawab bahwa kamu mencoba menyelaraskan dua madzhab yaitu Maliki dan Hanafi”. Setelah mimpi itu, Imam Syathibi menggantinya dengan nama al-Muwafaqat.[8]

B. al-Maqashid asy-Syari’ah: The Ultimate

Mengkaji teori Maqashid tidak dapat dipisahkan dari pembahasan tentang maslahah. Hal ini karena sebenarnya dari segi substansi, wujud al-maqashid asy-syari’ah adalah kemaslahatan.[9] Meskipun pemahaman atas kemaslahatan yang dimaksudkan oleh penafsir-penafsir maupun mazhab-mazhab, tidaklah seragam, ini menunjukkan betapa maslahat menjadi acuan setiap pemahaman keagamaan. Ia menempati posisi yang sangat penting.[10] Menurut Syathibi, Maqashid dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu Maqshud asy-Syari’ dan Maqshud al-Mukallaf. Dalam pembahasan ini akan difokuskan pada yang pertama (Maqshud asy-Syari’), karena dalam bagian tersebut terdapat teori pokok tentang Maqashid. Maqshud asy-Syari’ terdiri dari empat bagian, yaitu: 1. Qashdu asy-Syari’ fi Wadh’i asy-Syari’ah (maksud Allah dalam menetapkan syariat)2. Qashdu asy-Syari’ fi Wadh’i asy-Syari’ah lil Ifham (maksud Allah dalam menetapkan syari’ahnya ini adalah agar dapat dipahami)3. Qashdu asy-Syari’ fi Wadh’i asy-Syari’ah li al-Taklif bi Muqtadhaha (maksud Allah dalam menetapkan syari’ah agar dapat dilaksanakan)4. Qashdu asy-Syari’ fi Dukhul al-Mukallaf tahta Ahkam asy-Syari’ah (maksud Allah mengapa individu harus menjalankan syari’ah). Dalam pandangan Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid), baik di dunia maupun di akhirat. Aturan-aturan dalam syari’ah tidaklah dibuat untuk syari’ah itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan kemaslahatan.[11] Sejalan dengan hal tersebut, Muhammad Abu Zahrah juga menyatakan bahwa tujuan hakiki Islam adalah kemaslahatan. Tidak ada satu aturan pun dalam syari’ah baik dalam al-Qur’an dan Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan.[12] Dengan demikian dapat dipahami bahwa serangkaian aturan yang telah digariskan oleh Allah dalam syari’ah adalah untuk membawa manusia dalam kondisi yang baik dan menghindarkannya dari segala hal yang membuatnya dalam kondisi yang buruk, tidak saja di kehidupan dunia namun juga di akhirat. Kata kunci yang kerap disebut kemudian oleh para sarjana muslim adalah maslahah yang artinya adalah kebaikan, di mana barometernya adalah syari’ah.Adapun kriteria maslahah, (dawabith al-maslahah) terdiri dari dua bagian: pertama maslahat itu bersifat mutlak, artinya bukan relatif atau subyektif yang akan membuatnya tunduk pada hawa nafsu.[13] Kedua; maslahat itu bersifat universal (kulliyah) dan universalitas ini tidak bertentangan dengan sebagian (juz`iyyat)-nya.Terkait dengan hal tersebut, maka Syathibi kemudian melanjutkan bahwa agar manusia dapat memperoleh kemaslahatan dan mencegah kemadharatan maka ia harus menjalankan syari’ah, atau dalam istilah yang ia kemukakan adalah Qashdu asy-Syari’ fi Dukhul al-Mukallaf tahta Ahkam asy-Syari’ah (maksud Allah mengapa individu harus menjalankan syari’ah). Jika individu telah melaksanakan syari’ah maka ia akan terbebas dari ikatan-ikatan nafsu dan menjadi hamba yang—dalam istilah Syathibi—ikhtiyaran dan bukan idhtiraran.[14] Selanjutnya maslahah dapat di-break down menjadi tiga bagian yang berurutan secara hierarkhis, yaitu dharuriyyat (necessities/primer), hajjiyyyat (requirements/se-kunder), dan tahsiniyyat (beautification/tersier). [15]

  1. Maslahat Dharuriyyat adalah sesuatu yang harus ada/dilaksanakan untuk mewujudkan kemaslahatan yang terkait dengan dimensi duniawi dan ukhrawi. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan seperti makan, minum, shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya.[16] Dalam hal mu’amalat, Syathibi mencontohkan harus adanya `iwadh tertentu dalam transaksi perpindahan kepemilikan, jual-beli misalnya.[17] Ada lima tujuan dalam maslahah dharuriyyat ini, yaitu untuk menjaga agama (hifdzud-din), menjaga jiwa (hifdzun-nafs), menjaga keturunan (hifdzun-nasl), menjaga harta (hifdzul-maal), dan menjaga akal (hifdzul-‘aql).

2. Maslahah Hajjiyyat adalah sesuatu yang sebaiknya ada sehingga dalam melaksanakannya leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka ia tidak akan menimbulkan kerusakan atau kematian namun demikian akan berimplikasi adanya masyaqqah dan kesempitan.[18] Contoh yang diberikan oleh Syathibi dalam hal mu’amalat pada bagian ini adalah dimunculkannya beberapa transaksi bisnis dalam fiqh mu’amalat, antara lain qiradh, musaqah, dan salam.[19]3. Maslahah Tahsiniyyat adalah sesuatu yang tidak mencapai taraf dua kategori di atas. Hal-hal yang masuk dalam kategori tahsiniyyat jika dilakukan akan mendatangkan kesempurnaan dalam suatu aktivitas yang dilakukan, dan bila ditinggalkan maka tidak akan menimbulkan kesulitan. Ilustrasi yang digunakan Syathibi dalam bidang mu’amalat untuk hal ini adalah dilarangnya jual-beli barang najis dan efisiensi dalam penggunaan air dan rumput.[20]Pemahaman nilai serta ide yang terkandung dalam teks-teks otoritatif, dalam hal ini al-Qur’an dan Sunnah, tidak dapat dipisahkan dari pemahaman terhadap Maqashid Syari’ah. Seseorang yang berupaya menderivasikan nilai dan ide tersebut ke dalam dataran praksis, maka tidak akan memberikan efek positif dan kemaslahatan jika ia tidak dapat menginternalisasikan maqashid syari’ah dalam proses tersebut. Jika ditilik lebih jauh, Syathibi masuk dalam lingkaran seni penafsiran teks atau hermeneutik. Sekilas, metode yang digunakan Syathibi untuk menafsirkan teks mempunyai kemiripan dengan hermeneutik Schleiermacher. Keduanya mengamati sebuah teks dari dua sisi, yaitu sisi dalam teks dan sisi luar teks. Sisi luar dari sebuah teks adalah linguistik dan gaya bahasanya, adapun sisi luar teks adalah something behind-nya, atau yang lazim kita sebut dengan maqashidnya. Oleh karenanya, yang menjadi fokus perhatian seseorang yang berusaha memahami teks adalah membawa keluar makna internal dari suatu teks beserta situasinya menurut zaman dan horizon teks (horizon ‘umiyyah dalam istilah Syathibi), bukan horizon interpreter.Tidak ada yang menyangsikan bahwa Syathibi-lah yang mampu membuat packing menarik untuk Maqashid. Namun hal itu tidak berarti bahwa apa yang telah diintrodusir Syathibi bukan tanpa kelemahan. Adalah Muhammad Thahir bin ‘Asyur (w. 1973 M) yang dijuluki al-Mu’allim al-Tsani dalam bidang maqâshid, mencoba untuk menyempurnakan konsep Maqashidi yang telah dibangun Syathibi. Untuk tujuan tersebut, pakar dari Universitas al-Zaytunah yang masyhur dengan sebutan Ibnu ‘Asyur tersebut, kemudian menyusun sebuah buku yang diberi judul Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah. Pada bagian pendahuluan, Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa Maqashid haruslah bersifat universal yang dapat dijadikan pijakan dalam skala lintas teritorial-geografis.[21] Oleh karenanya, al-kuliyyah al-khamsah mau tidak mau harus diekstensifkan lagi, tidak terbatas pada lima pokok saja. Hal ini karena menurutnya Syathibi belum tuntas mentransformasikan basis ushul fiqh dari dzanni ke qoth’iy, yang berimbas pada kegagalan konsep Maqashid untuk meredam kontradiksi di bidang fiqh. Hemat penulis, posisi Ibnu ‘Asyur dalam proses pengembangan dan penyempurnaan Maqashid kurang lebih sama dengan para ulama-ulama sebelumnya. Serangkaian wacana konsep Maqashid yang diusung oleh Syathibi, at-Tufi, al-Baqillani, Izzudin Abdussalam, atau bahkan al-Ghazali, adalah langkah penyempurnaan Maqashid. Ia memang perlu disempurnakan dan dikembangkan seiring dengan perjalanan waktu. Demikian halnya dengan Ibnu ‘Asyur, apa yang ia garap melalui buku Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah adalah sebuah langkah di antara sekian ribu langkah yang telah dilalui oleh para ulama sebelumnya untuk mengelaborasi lebih jauh tentang Maqashid.

C. Hubungan antara al-Maqashid asy-Syari’ah dengan Ekonomi Islam

1. al-Maqashid asy-Syari’ah sebagai Ushul-nya Ushul Ekonomi IslamSeperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa tujuan diturunkannya syari’ah adalah untuk mencapai kemaslahatan dan menghindari kemafsadatan pada dua dimensi waktu yang berbeda, dunia dan akhirat. Hal ini berarti bahwa semua aspek dalam ajaran Islam, harus mengarah pada tercapainya tujuan tersebut, tidak terkecuali aspek ekonomi. Oleh karenanya Ekonomi Islam harus mampu menjadi pan-acea dan solusi terhadap akutnya problem ekonomi kekinian. Konsekuensi logisnya adalah, bahwa untuk menyusun sebuah bangunan Ekonomi Islam maka tidak bisa dilepaskan dari teori Maqashid seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Bahkan Syaikh Muhammad Thahir ibn ‘Asyur pernah mengatakan bahwa “Melupakan pentingnya sisi maqasid dalam syariah islam adalah faktor utama penyebab terjadinya stagnasi pada fiqh.[22] Menghidupkan kembali Ekonomi Islam yang telah sekian lama terkubur dan nyaris menjadi sebuah fosil, merupakan lahan ijtihadi. Ini artinya bahwa dituntut kerja keras (ijtihad) dari para ekonom muslim untuk mencari nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah yang terkait dengan ekonomi. Untuk selanjutnya nilai-nilai ideal tersebut diderivasikan menjadi teori-teori ekonomi yang kemudian dapat dijadikan rumusan/kaidah di dataran praksis.Dalam hal ini Syed Nawab Heidar Naqvi menyatakan bahwa kaidah perilaku ekonomi dalam Ekonomi Islam tidak dapat dipisahkan dari nilai etik. Selanjutnya ia mengelaborasi lebih jauh peran etika dalam banyak hal, diantaranya etika dan perilaku rasional; etika pada perilaku konsumen; penolakan atas teori Optimum Pareto karena menafikan nilai etik; etika dalam keadilan distributif; dan etika yang dikaitkan dengan peran pemerintah.[23] Variabel etika, yang dikaitkan dengan maslahah sebagai keyword-nya, tampaknya memang sangat urgen dalam proses ijtihad di wilayah Ekonomi Islam. Sebagaimana yang dinyatakan Said Aqiel Siradj, bahwa dalam mengembangkan metode yang menekankan wawasan etis dengan harapan bisa memenuhi maksud di atas, maslahah sebagai salah satu metode ushul al fiqh selama ini dengan rekonstruksi, perlu dinaikkan derajat dan posisinya menjadi metode sentral ushul al fiqh (al-Manhaj al- Asasiyyah li Ushul al-Fiqh). Selain itu fiqh yang lepas dari varibel etika akan menjadi rigid, kaku dan legal-formal.[24]Selain itu, tawaran tentang Fiqh Maqashid nampaknya menjadi salah stimulan yang layak dikembangkan oleh para ekonom muslim untuk mengembangkan Ekonomi Islam. Namun perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa apa yang kami maksud dengan ’Fiqh’ di sini lebih mengarah pada arti ’pemahaman’, yaitu pemahaman kita terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam aturan syar’i. Fiqh al-Maqâshid al-Syarî’ah, yaitu sebuah fikih yang dibangun atas dasar tujuan ditetapkannya sebuah hukum. Pada teknisnya, metode ini ditujukan bagaimana memahami nash-nash syar’i yang juz’î dalam konteks maqâshid al-Syarî’ah dan mengikatkan sebuah hukum dengan tujuan utama ditetapkannya hukum tersebut, yaitu melindungi kemaslahatan bagi seluruh manusia, baik dunia maupun akhirat.[25] Fiqh Maqashid akan mengakhiri babakan sejarah yang selama ini menghadirkan fiqh dalam wajahnya yang kaku, out-of date, sakral, nyaris untouchable dan tidak mempunyai daya sentuh yang maksimal di lapangan. Yusuf al-Qardhawi melihat kenyataan mandulnya fiqh ini ditandai dengan sistematisasi fiqh yang dimulai dengan pembahasan mengenai ibadah. Menurutnya, karakteristik fiqh yang seperti ini telah memandulkan cara pandang fiqh terhadap masalah sosial, politik, dan ekonomi.[26]Ekonomi Islam yang dalam banyak hal adalah ”reinkarnasi” dari fiqh mu’amalat[27] sudah semestinya mengembalikan kelenturan dan elastisitas fiqh dengan menjadikan maqashid syari’ah sebagai the ultimate goal dalam proses tersebut. Mengutip pendapat Masdar F. Mas’udi, bahwa dalam masalah mu’amalat, irama teks tidak lagi dominan, tetapi yang dominan adalah irama maslahat. Pendapat (al-qawl) yang unggul bukan hanya memiliki dasar teks tapi juga bisa menjamin kemaslahatan dan menghindar dari kerusakan (al-mafsadah). Oleh karenanya menggunakan kaca mata Fiqh Maqashid untuk mengoperasionalisasikan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti kemaslahatan, keadilan dan kesetaraan ke dalam Ekonomi Islam menjadi sebuah keniscayaan.Mengapa ketika kita mendengar kata ”fiqh mu’amalat” maka kesan yang muncul adalah sesuatu yang usang, kuno dan out-of date, adalah karena selama ini ia lebih dipahami sebagai sebuah hukum (atau bahkan pure fiqh) yang identik dengan stigma-stigma tersebut di atas. Selain itu, pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah (atau bahkan mungkin di level S1 sekalipun) tentang fiqh mu’amalat tidak lebih dari sekedar aturan normatif, yang ”tidak perlu diamalkan”; lain halnya dengan fiqh ibadah yang harus diamalkan. Materi dalam pengajaran fiqh mu’amalat selama ini hanya sebagai materi di atas kertas, tidak ada kontrol, termasuk kontrol sosial yang dituntut untuk diaplikasikan.[28]Para ekonom muslim saat melakukan berbagai kajian dan analisis terhadap Ekonomi Islam, sebagai salah satu komponen dalam lingkaran Islamic studies, sudah sewajarnya jika melakukan tafsir ulang terhadap nalar syari’ah yang selama ini berkembang. Dengan menggunakan ”packing” yang agak menggelitik, apa yang yang ditawarkan oleh Yudian Wahyudi untuk mensinergiskan antara apa yang ada di Harvard dan apa yang ada dibalik nama besar Sunan Kalijaga dalam bingkai Maqashid Syari’ah, pada proses mengembangkan Ekonomi Islam juga layak untuk diapresiasi. Harvard merupakan salah satu icon pesatnya perkembangan Islamic studies di luar kawasan Timur Tengah; sementara Sunan Kalijaga (maaf, tetapi bukan UIN Sunan Kalijaga yang kami maksud) adalah simbol keberhasilan dakwah/Islamisasi yang mampu mensinergikan antara apa yang tercantum dalam dataran normatif dengan realitas yang terjadi di masyarakat.[29] Dus, Ekonomi Islam semestinya dibangun tanpa menafikan realitas yang ada namun tetap dalam bingkai Maqashid Syari’ah. Ini karena Maqashid Syari’ah sendiri berupaya untuk mengekspresikan penekanan terhadap hubungan antara kandungan kehendak (hukum) Tuhan dengan aspirasi yang manusiawi.[30]Sampai di sini dapat kita tarik sebuah benang merah bahwa teori Maqashid menempati posisi yang sangat sentral dan vital dalam merumuskan metodologi pengembangan Ekonomi Islam. Bahkan Syathibi sendiri menyatakan bahwa Maqashid Syari’ah merupakan ushulnya-ushul.[31] Ini berarti bahwa menyusun ushul fiqh sebagai sebagai sebuah metodologi, tidak dapat lepas dari Maqashid Syari’ah. Hal ini karena teori Maqashid dapat mengantarkan para mujtahid untuk menentukan standar kemaslahatan yang sesuai dengan syari’ah/hukum.[32] Bahkan terlebih lagi, menurut at-Tufi, hanya dalam wilayah mu’amalat sajalah rasionalisasi kemaslahatan ini dapat diterapkan.[33]

2.Ijtihad dalam Ekonomi IslamIjtihad umumnya dikaitkan dalam wilayah hukum, yaitu proses untuk menemukan hukum suatu masalah tertentu dari dalil-dalil yang ada. Namun demikian, tentulah ijtihad bukan ”hak milik” wilayah hukum semata, karena Ekonomi Islam pun (apalagi jika ia diidentikkan dengan fiqh mu’amalat) juga mempunyai ”hak” untuk dikembangkan melalui proses ijtihad. Bahkan tidak ada kata final untuk proses ijtihad, karena Ekonomi Islam harus elastis sesuai dengan dinamika perputaran roda peradaban yang tak mengenal kata berhenti.Terkait dengan posisi teori Maqashid sebagai pokok pangkal dari proses berijtihad, Syathibi mengintrodusir dua langkah dalam proses ijtihad, yaitu ijtihad istinbathi dan ijtihad tathbiqi. Pembagian yang dilakukan oleh Syathibi ini dapat mempermudah untuk memahami mekanisme ijtihad. Dalam ijtihad istinbathi, seorang ekonom muslim memfokuskan perhatiannya pada upaya penggalian ide yang dikandung dalam teks (al-Qur’an dan Sunnah) yang masih abstrak. Setelah memperoleh ide-ide tersebut maka kemudian menerapkan ide-ide abstrak tadi pada permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan; inilah yang disebut dengan ijtihad tathbiqi atau ”ijtihad penerapan.” Jadi obyek ijtihad istinbathi adalah teks, sedangkan obyek kajian tathbiqi adalah manusia dengan dinamika perubahan dan perkembangan yang dialaminya. Sehingga masuk akal jika kemudian Syathibi menyebut ijtihad tathbiqi sebagai ijtihad yang tidak akan berhenti sampai akhir zaman.[34]Pembicaraan epistemologi ekonomi Islam mensyaratkan digunakannya metode deduksi dan induksi. Ijtihad tathbiqi yang banyak menggunakan induksi akan menghasilkan kesimpulan yang lebih operasional, sebab ia didasarkan pada kenyataan empiris. Selanjutnya, dari keseluruhan proses ini–yaitu kombinasi dari elaborasi kebenaran wahyu Allah dan as-Sunnah dengan pemikiran dan penemuan manusia yang dihasilkan dalam ijtihad—akan menghasilkan hukum dalam berbagai bidang kehidupan.[35]Terkait dengan hal tersebut, maka al-kulliyyah al-khamsah sebagaimana yang diintrodusir oleh Syathibi bukanlah sesuatu yang ’eksklusif’ harga mati yang tidak bisa dikembangkan lebih banyak lagi. Jika para ahli fiqh klasik telah merumuskan pada masa mereka kebutuhan-kebutuhan primer mereka yang kita kenal dalam al-kuliyyah al-khamsah, maka kebutuhan kita tidak cukup hanya lima kebutuhan primer tersebut. Kita harus mampu menggali dan meletakkan kebutuhan-kebutuhan primer kekinian sebagai maqashid al-syari’ah, seperti hak kebebasan berpendapat, berpolitik, pemilu dan suksesi, hak mendapat pekerjaan, sandang, pangan dan papan, hak mendapat pendidikan, hak pengobatan dan sebagainya.[36] Sebagaimana M. Fahim Khan juga menyatakan bahwa:”Following the lines of Shatibi, the Islamic jurists and economists in the contemporary world are required to work together to determine in detail the determinans of human life. For example, freedom may be the sixth element wich may be required to be promoted along with the promotion of the five elements described by Shatibi.”[37] Selanjutnya ia juga menyatakan:“It may be mentioned that the list of basic elements given by Shatibi may be not an exhaustive list. For example, one element that seems to be missing from the list is freedom. Islam has given great importance to freedom at the individual level as well as at the society level… Freedom from the dominance of non-muslim rule is extremly important.”[38] Ibnu ‘Asyur juga menyatakan bahwa meskipun al-kuliyyah al-khamsah memang sangat penting, namun secara subtansial sudah tidak memadai untuk mengawal perkembangan dinamika ijtihad kontemporer. Untuk itu, ‘Asyur menawarkan paradigma baru bahwa poros syariat sejatinya terletak pada nilai-nilai universal seperti fitrah, kebebasan (huriyyah), toleran (samahah), egalitarianisme, dan hak asasi manusia.[39] Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa kata kunci dari Maqashid Syari’ah adalah maslahah. Tawaran yang sangat menghentak dan “kontradiktif” dengan arus main-stream adalah apa yang digagas oleh at-Tufi mengenai teori Maslahat. At-Tufi membangun pemikirannya tentang maslahat tersebut berdasarkan atas empat prinsip, yaitu :[40]1. Akal mempunyai kebebasan menentukan maslahat dan kemafsadatan, khususnya dalam lapangan mu’amalah dan adat. Untuk menentukan suatu maslahat atau kemafsadatan dalam wilayah mu’amalat cukup dengan akal. 2. Sebagai kelanjutan dari poin pertama tersebut, at-Tufi berpendapat bahwa maslahat merupakan dalil syar’i mandiri yang kehujjahannya tidak tergantung pada konfirmasi nas, tetapi hanya tergantung pada akal semata. Dengan demikian, maslahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. 3. Maslahat hanya berlaku dalam lapangan mu’amalah dan adat kebiasaan, sedangkan dalam bidang ibadat (mahdah) dan ukuran-ukuran yang ditetapkan syara’, tidak termasuk objek maslahat, karena masalah-masalah tersebut merupakan hak Allah semata. 4. Maslahat merupakan dalil syara’ paling kuat. Oleh sebab itu, at-Tufi juga menyatakan apabila nas dan ijma’ bertentangan dengan maslahat, didahulukan maslahat dengan cara pengkhususan (takhsis) dan perincian (bayan) nas tersebut. Meskipun tergolong liberal untuk ukuran sezaman at-Tufi, maka idealita dari apa yang disampaikan oleh at-Tufi jika dikaitkan dengan Ekonomi Islam, adalah sudah semestinya Ekonomi Islam akan selalu hidup dan tidak berjalan tertatih di belakang perkembangan peradaban manusia. Ekonomi Islam akan bersifat elastis, lentur dan dinamis sehingga dapat menjawab setiap persoalan ekonomi umat. Namun demikian elastisitas ini tidak serta-merta diiringi dengan pola pikir yang liberal, yang dapat mencerabut Ekonomi Islam dari akar-akarnya. Sementara itu berbagai macam ”versi” Maqashid Syari’ah yang ditawarkan oleh kalangan cendekiawan muslim, merupakan sebuah proses berkesinambungan untuk mencari dan menemukan kehendak Allah SWT. Meskipun sepintas terlihat ada perbedaan dan pertentangan antar mereka, namun upaya-upaya tersebut semestinya tidak dihadapkan secara diametris dan kontradiktif. Liberalitas at-Tufi tidak perlu dipertentangkan dengan kehati-hatian Syathibi yang tetap berpegang pada dalil naqli sebagai ushul. Demikian halnya ekstensifikasi al-kuliyyah al-khamsah sebagaimana yang diwacanakan Ibnu ’Asyur adalah langkah untuk melengkapi apa yang sudah ada, baik dari sisi metodologis. Selanjutnya, pastilah akan muncul tokoh-tokoh lain dengan tawaran ide yang lebih menggigit yang mungkin saja akan menjadikan pemikiran tokoh sebelumnya terkesan ”usang”.Pertanyaan kemudian yang mengedepan adalah, siapa dan kriteria bagaimanakah yang mempunyai hak untuk melakukan ijtihad dalam Ekonomi Islam, yang itu merupakan wilayah yang lebih luas dari pada fiqh mu’amalat? Apakah kriteria seorang mujtahid dalam Ekonomi Islam seketat mujtahid dalam Hukum Islam? Jika memang Maqashid Syari’ah itu adalah ushulnya ushul, apakah persyaratan bahwa seorang mujtahid dalam Ekonomi Islam itu harus menguasai Bahasa Arab—sebagaimana syarat yang diajukan Syathibi untuk dapat menemukan Maqashid Syari’ah—berlaku pada setiap orang?

D. Beberapa Implikasi Maqashid terhadap Teori Perilaku Ekonomi[41]

Aturan-aturan dalam syari’ah sangat terkait dengan berbagai dimensi aspek perilaku manusia. Aspek ekonomi hanyalah salah satu dari serangkaian perilaku manusia. Pembahasan sebelumnya mengenai teori Maqashid semestinya mempunyai implikasi terhadap perilaku ekonomi setiap individu muslim. Selain itu para ekonom muslim juga tidak boleh melupakan implikasi-implikasi tersebut saat melakukan analisis ekonomi dalam framework Islam.Menyusun dan menguraikan implikasi Maqashid dalam teori-teori ekonomi merupakan sebuah tantangan dan tugas yang sangat berat, yang harus selalu diupayakan oleh para ekonom muslim. Uraian di bawah ini berupaya untuk menderivasikan teori Maqashid ke dalam teori ekonomi. Namun demikian uraian yang akan kami sampaikan ini baru sebatas dalam dataran ”inisiatif untuk berproses” yang tidak bersifat exhaustic (habis pakai) dan final. 1. Problem EkonomiProblem ekonomi biasanya dikaitkan dengan tiga pertanyaan dasar, yaitu apa yang diproduksi, bagaimana memproduksi, dan untuk siapa sesuatu itu diproduksi. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena adanya keyakinan bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas, sedangkan sumber daya yang tersedia itu terbatas. Namun demikian teori-teori dalam ekonomi konvensional tidak mampu untuk memberi jawaban yang tepat untuk pertanyaan di atas. Akibatnya, teori-teori tersebut tidak dapat secara spesifik menjelaskan problem ekonomi manusia. Selama ini teori ekonomi konvensional mendefinisikan bahwa problem ekonomi sebagai how to maximise the satisfaction of wants from the available resources wich are relatives to wants. Definisi ini mengandung inkonsistensi, karena meskipun variabel kelangkaan sumber daya (scarcity of resources) itu dihilangkan, apakah problem ekonomi yang dihadapi oleh manusia juga akan hilang dengan sendirinya. Jawabannya tentu ‘tidak’, karena ketidakmampuan materi (sumber daya) untuk memuaskan keinginan manusia. Galbraith, sebagaimana yang dikutip M. Fahim Khan, mempertanyakan: Bagaimana mungkin proses produksi dapat memuaskan keinginan jika proses produksi itu sendiri justru menciptakan keinginan. Anda tentunya juga masih ingat hukum Say yang mengatakan the supply creates its own demand. Tidak mengherankan kemudian jika T. Scitovsky menyatakan bahwa negara-negara kapitalis yang kaya menjadi masyarakat konsumeris yang banyak melakukan pemborosan.[42]Dalam perspektif Syari’ah, alasan mengapa seseorang berproduksi dan mengapa harus terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi adalah sebagai upaya untuk menjaga kemaslahatan. Aktivitas ekonomi, baik itu produksi dan konsumsi yang didasarkan pada maslahah, merupakan representasi proses meraih sesuatu yang lebih baik di dunia dan akhirat. Segala tindakan ekonomi yang mengandung maslahah bagi manusia tadi disebut dengan kebutuhan (needs) yang harus dipenuhi. Memenuhi kebutuhan (meeting/fulfilling needs)—dan bukan memuaskan keinginanan (satisfying wants)—merupakan tujuan dalam aktivitas ekonomi yang sekaligus merupakan kewajiban agama. Oleh karena fulfilling needs merupakan kewajiban agama, maka Ekonomi Islam juga menjadi sebuah “kekuatan pemaksa” bagi masyarakat yang tidak mempunyai keinginan untuk melakukan pembangunan ekonomi.Berdasarkan uraian tersebut maka yang menjadi problem ekonomi adalah, bagaimana individu memenuhi kebutuhannya (fulfilling needs), karena terkadang pada kondisi, waktu dan lokasi tertentu sumber daya yang tersedia menjadi terbatas. Relatifitas scarcity ini pun disinggung dalam al-Qur’an (al-Baqarah, 255):ولنبلونّـكم بشيئ من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثمـرات2. Wants versus NeedsWants dalam teori ekonomi konvensional muncul dari keinginan naluriah manusia, yang muncul dari konsep bebas nilai (value-free concept)[43]. Ilmu ekonomi konvensional tidak membedakan antara kebutuhan dan keinginan, karena keduanya memberikan efek yang sama bila tidak terpenuhi, yaitu kelangkaan. Mereka berpendirian bahwa kebutuhan adalah keinginan, demikian pula sebaliknya. Padahal konsekuensi dari hal ini adalah terkurasnya sumber-sumber daya alam secara membabi-buta dan merusak keseimbangan ekologi.[44] Pada sisi yang lain, Ekonomi Islam justru tidak memerintahkan manusia untuk meraih segala keinginan dan hasratnya. Memaksimalkan kepuasan (maximization of satisfaction) bukanlah spirit dalam perilaku konsumsi Ekonomi Islam, karena hal tersebut adalah norma-norma yang disokong oleh peradaban yang materialistik.[45] Sebagai gantinya Ekonomi Islam memerintahkan individu untuk memenuhi kebutuhannya/needs sebagaimana yang dikehendaki oleh syari’ah. Needs memang muncul dari keinginan naluriah, namun dalam framework Islam tidak semua keinginan naluriah itu bisa menjadi kebutuhan. Hanya keinginan yang mengandung maslahah saja yang dapat dikategorikan sebagai needs. 3. Maslahah versus UtilityTeori ekonomi konvensional menjelaskan utilitas sebagai upaya untuk menguasai/memiliki barang dan jasa guna memuaskan keinginan manusia. Satisfaction atau kepuasan hanya dapat ditetapkan secara subyektif, sehingga setiap orang dapat menentukan tingkat kepuasannya tergantung pada kriteria yang ia tetapkan sendiri. Semua aktifitas ekonomi, baik itu proses produksi maupun konsumsi, didasari pada semangat utilitas.Namun dalam Ekonomi Islam hanya barang/jasa yang dapat mengembangkan dan menopang maslahah sajalah yang dapat dikategorisasikan sebagai barang/jasa yang mengandung maslahah.[46] Oleh karenanya, dari sudut pandang agama, seorang individu muslim didorong untuk memperoleh atau memproduksi barang/jasa yang mengadung kemaslahatan. Barang/jasa dapat diukur tingkat kemaslahatannya relatif pada kemampuan barang/jasa tersebut untuk mengembangkan maslahah. Bagi para ekonom muslim, konsep maslahah lebih obyektif dari pada konsep utilitas untuk menganalisis perilaku para pelaku ekonomi. Meskipun maslahah mungkin akan menyisakan sedikit subyektifitas, namun subyektifitas tersebut tidak membuatnya samar seperti yang terjadi dalam konsep utilitas. Ada tiga alasan mengapa maslahah lebih superior dari pada utilitas, yaitu: a. Maslahah memang bersifat subyektif, karena setiap individu dapat menentukan sesuatu yang baik/maslahah bagi diri mereka sendiri. Akan tetapi kriteria untuk menentukan maslahah ini lebih jelas dan terarah, dari pada subyektifitas yang ada pada konsep utilitas. Dalam konsep utilitas, alkohol (minuman keras) bisa jadi mengandung utilitas tapi bisa juga tidak, relatif pada individu masing-masing. Namun dalam Ekonomi Islam, karena alkohol tidak mengandung kemaslahatan dan jelas kontradiktif dengan al-kuliyyah al-khamsah maka jelas alkohol tidak akan dikonsumsi.b. Konflik kepentingan antara kepentingan individu dan kepentingan sosial dapat dihindari, atau setidaknya diminimalisir. Hal ini karena kriteria maslahah antara individu dan sosial dapat disinkronkan, sesuai yang tertuang dalam aturan-aturan syar’i. Dalam pandangan Asad Zaman, perilaku konsumsi muslim terkait dengan tiga hal yaitu, altruisme, penolakan terhadap konsep satiation; dan feeding the poor.[47]c. Konsep maslahah berlaku pada semua aktifitas ekonomi di masyarakat, baik itu dalam proses produksi dan konsumsi. Berbeda halnya dengan ekonomi konvensional; dimana utilitas adalah tujuan dari konsumsi; sedangkan profit atau keuntungan adalah tujuan dari proses produksi. 4. Institutional FrameworkInstitusi seperti apakah yang dapat ”memaksa” setiap individu muslim agar dapat berperilaku sesuai dengan uraian-uraian sebelumnya? Dalam ekonomi kapitalisme, mekanisme pasar bebas merupakan institusi bagi konsumen untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sistem ekonomi kapitalis juga mempunyai institusi tersendiri untuk memenuhi kebutuhan individu yang tidak mampu untuk memenuhi keinginannya. Institusi-institusi tersebut tentunya dibutuhkan untuk membimbing perilaku konsumen dalam Ekonomi Islam. Namun ada tiga unsur penting yang perlu ditambahkan untuk membangun institusi tersebut, yaitu:a. Tidak adanya perilaku pemborosan (israf);b. Konsistensi dalam pemenuhan kebutuhan sesuai dengan hierarkhi dharuriyyat, hajjiyyat dan tahsiniyyat;c. Tidak adanya penyimpangan besar-besaran terhadap prinsip-prinsip Islam.Berdasar pada kondisi tersebut Fahim Khan dan Ghifari berpendapat bahwa institusi yang dibangun untuk menangani ”penyakit sosial” dalam pola perilaku konsumen adalah:[48]a. Institusi yang bersifat volunteer yang bertugas untuk mengadakan pendidikan dan training yang bertujuan agar individu muslim dapat membatasi perilakunya agar tidak menimbulkan deviasi terhadap dasar-dasar ajaran Islam.b. Institusi yang mempunyai wewenang dan otoritas untuk membatasi perilaku konsumen agar tidak menimbulkan economic disorder. Institusi yang dimaksud di sini agar lebih efektif adalah institusi negara sehingga mempunyai kekuatan yang efektif yang dapat menjaga tatanan sosial dan kepentingan publik. Hal ini karena kebebasan individu muslim dalam kerangka kerja Islam tidak akan mengganggu tatanan sosial yang berlaku. Dalam sejarah Ekonomi Islam, dikenal sebuah lembaga yang disebut dengan al-Hisbah. Lembaga yang berada di bawah otoritas negara yang bertugas untuk mengkondisikan masyarakat untuk melaksanakan tanggung jawabnya adalah sebuah lembaga keagamaan (dalam istilah Ibnu Khaldun disebut dengan wadzifah diniyyah;[49]sedangkan al-Maqrizi menyebutnya dengan khidzmah diniyyah[50]). Tujuan lembaga ini adalah untuk mengantisipasi terjadinya deviasi atau penyimpangan di masyarakat, menjaga keimanan dan memastikan bahwa kesejahteraan masyarakat baik dalam dimensi duniawi dan ukhrawi telah sesuai dengan aturan Allah.[51] Tidak sedikit literatur yang membahas al-Hisbah, terutama sejak tahun 620 s.d 1800 M. Di antara para ekonom muslim yang memberikan perhatiannya terhadap al-Hisbah adalah al-Qodli Abu Ya’ali, al-Ghazali, Ibnu Khaldun, al-Sharazi, Ibnu Taimiyyah, al-Maqrizi, al-Shan’ani dan Tajuddin al-Subhi.Ada beberapa istilah yang sering dilekatkan dengan al-Hisbah, antara lain adalah ’Amil ala al-Suq, Sahib al-Suq, dan al-Muhtasib. Jika al-Hisbah lebih cenderung dipahami sebagai lembaganya, maka tiga yang disebutkan terakhir lebih dimaknai sebagai subyek atau pelaku yang bekerja untuk lembaga al-Hisbah. Istilah ’Amil ala al-Suq telah muncul pada masa awal kenabian, sedangkan al-Muhtasib (dan istilah ini yang lebih populer) baru muncul pada masa khalifah al-Ma’mun (821-833).[52]Secara umum, tugas lembaga al-Hisbah, menurut Yassine Essid, dapat dibagi menjadi dua kategori:“…we discover two categories of responsibilities, or rather, we find ourselves looking at two different figures: the censor of morals who breaks musical instruments, pours out wine, beats the libertine and tears off his silken clothing, and the modest market provost, a man who controls weights and measures, inspects the quality of the foods on sale, ensures that markets are well supplied, and occasionaly sets the price of goods.”[53] Sebelumnya al-Ghazali dalam Ihya’-nya, membahas empat hal yang terkait dengan al-Hisbah, yaitu kualifikasi atau syarat menjadi seorang muhtasib; kondisi dan proses penerapan al-Hisbah; pihak-pihak yang dapat menjadi muhtasib dan tingkatan-tingkatan dalam penerapan al-Hisbah.Menilik trend ekonomi kekinian, maka lembaga yang berwenang untuk mengemban tugas ini menurut hemat kami dapat dilakukan dengan dua alternatif. Pertama, tugas-tugas tersebut langsung ditangani oleh pemerintah. Pemerintah dapat memainkan peran sebagai regulator terhadap para “pemain” di pasar; pemerintah dapat berfungsi sebagai produsen terhadap barang/jasa yang tidak dapat dibingkai dalam frame profit-oriented[54] dan barang/jasa dalam kategori non-rivalrous & excludable goods[55]; pemerintah sekaligus juga dapat berfungsi sebagai konsumen untuk menjaga stabilitas pasar.[56] 5. Maslahah dalam Proses ProduksiIslam tidak menolak pertimbangan bahwa untuk memproduksi barang/jasa harus mempertimbangkan for whom to produce sehingga akan menentukan what to produce. Dengan mengacu pada konsep maslahah sebagi tujuan dari Maqashid Syari’ah, maka proses produksi akan terkait dengan beberapa faktor berikut:a. Karena produsen dalam Islam tidak hanya mengejar profitability namun juga menjadikan maslahah sebagai barometernya, maka ia tidak akan memproduksi barang/jasa yang tidak searah dengan Maqashid Syari’ah, menyalahi al-kulliyyah al-khamsah dan tidak meningkatkan kemaslahatan baik dalam level individu dan sosial. Produsen dalam ekonomi konvensional bisa jadi akan membuka kasino maupun ”pasar kembang a la Jogja” demi mengejar keuntungan. Namun tidak demikian halnya dengan produsen dalam Ekonomi Islam, karena kasino bertentangan dengan hifdzil-maal sedangkan praktek prostitusi tidak sejalan dengan hifdzil-nasl.b. Dalam banyak hal, jenis dan jumlah supply relatif pada demand. Jika diasumsikan bahwa semua demand di suatu pasar berdasar pada maslahah yang berakar pada needs, maka supply dari produsen akan mengikuti demand tersebut. Pun andaikata masih ada demand yang tidak sesuai kemaslahatan, maka produsen dalam Ekonomi Islam semestinya tidak mensuplai permintaan tersebut hanya karena profit semata. Tentulah apa yang telah diuraikan pada sub-bab ini hanya sebagian kecil dari sekian implikasi Maqashid Syari’ah dalam perilaku ekonomi individu muslim. Selain itu, merupakan sebuah ‘keharusan’ bahwa yang uraian tentang implikasi di atas merupakan bentuk dari ‘ijtihad individual’ yang perlu dikomunikasikan dengan para mujtahid lainnya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Benang merah yang dapat kita sarikan dari uraian di atas adalah bahwa Maqashid Syari’ah sebagai tujuan dibalik adanya serangkain aturan-aturan telah digariskan oleh Allah SWT. Tujuan tersebut adalah untuk mendatangkan kemaslahatan dan mencegah kemadharatan bagi manusia. Semua aspek dalam kehidupan individu muslim harus mengarah pada tercapainya kemaslahatan seperti yang dikehendaki dalam Maqashid Syari’ah.Berdasar simpulan pertama tersebut, maka Ekonomi Islam juga menempatkan Maqashid Syari’ah sebagai acuan, sehingga sistem dan ilmu yang kini tengah diformulasikan dapat memberi kemaslahatan dan mampu menjadi pan-acea terhadap kompleknya problem ekonomi kekinian yang kian akut. Para “mujtahid” di bidang Ekonomi Islam sudah semestinya menerapkan Maqashid Syari’ah dalam proses analisis mereka tentang ekonomi.Maqashid Syari’ah dalam dataran idealnya juga harus berimplikasi pada perilaku ekonomi individu muslim, baik dalam posisinya sebagai konsumen maupun produsen. Kesemua aktivitas ekonomi tersebut harus menuju kepada kemaslahatan sehingga dapat memelihara Maqashid Syari’ah.

B. Rekomendasi

1. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa Ekonomi Islam merupakan salah satu garapan ijtihad para intelektual muslim saat ini. Terkait dengan hal tersebut maka perlu “disepakati” siapa-siapa sajakah yang dianggap mempunyai kapabilitas dan kapasitas untuk melakukan proses ijtihad tersebut. Pada skala yang sangat sederhana, keberadaan Dewan Syari’ah Nasional (DSN) yang bertugas untuk menilai “halal-haramnya” produk-produk perbankan syari’ah, merupakan contoh kecil proses ijtihad dalam Ekonomi Islam sebagai sebuah sistem. Tentunya merupakan sebuah keniscayaan adanya sebuah institusi yang tidak saja berijtihad dalam cakupan sistem Ekonomi Islam, namun juga pada wilayah Ilmu Ekonomi Islam. Oleh karenanya, perlu ditindaklanjuti studi yang terkait dengan who dan how berijtihad dalam Ekonomi Islam.2. al-Kuliyyah al-khamsah masih dapat diekstensifikasikan. Para ulama pun banyak mengusulkan nilai-nilai yang dapat dimasukkan dalam Maqashid Syari’ah, seperti egaliterianisme, toleransi, hak asasi manusia, perdamaian, keadilan dan sebagainya. Maka perlu ditegaskan bagaimana metodologi untuk merumuskan tambahan untuk lima hal tersebut? Selajutnya juga harus diklasifikasikan tingkatan masing-masing nilai tersebut, apakah dalam kategori dharuriyyah, hajjiyyah ataukah tahsiniyyah. Nilai-nilai yang terkandung dalam Maqashid mungkin semunya adalah dharuriyyah, namun operasionalisasi nilai-nilai tersebut perlu diberikan skala prioritas sesuai dengan tingkat kebutuhannya.3. Syathibi berpendapat bahwa efisiensi penggunaan air masuk dalam tahsiniyyat. Bisa dimaklumi pendapat tersebut jika kita hidup di saat air dapat diperoleh dengan mudah. Namun di saat fenomena ”blue gold” tengah menggejala seperti sekarang ini, tentu pendapat Syathibi akan banyak mendapat tentangan dari banyak kalangan, terlebih para ekonom yang sangat lekat dengan istilah efisiensi. Oleh karenanya, contoh-contoh yang digunakan oleh Syathibi, tidak saja dalam wilayah mu’amalat namun juga pada wilayah yang lain, perlu direkontek

DAFTAR PUSTAKA

Agustianto, Epistemologi Ekonomi Islam, dalam www.pelita.or.id, diakses tanggal 29 Oktober 2007.

Asmuni, Penalaran Induktif Syatibi dan Perumusan al-Maqosid menuju Ijtihad yang Dinamis, dalam www.yusdani.com, diakses 13 November 2007.

Azizy, A. Qodri, Membangun Fondasi Ekonomi Umat: Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004..

Darusmanwiati, Aep Saepulloh, “Imam Syathibi: Bapak Maqashid asy-Syari’ah Pertama” dalam www.islamlib.com, diakses 13 November 2007.

Romli, Muhammad Guntur, Menggagas Fiqh Maqashid dalam www.islamlib.com, diakses 29 Oktober 2007.

Siradj, Said Aqiel, Fiqh Berwawasan Etika, dalam www.repulika.co.id, diakses 13 November 2007. Syathibi, Imam, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th. Wahyudi, Yudian, Maqashid Syariah dalam Pergumulan Politik; Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga, Yogyakarta: Nawesea, 2007.

Yusdani, at-Tufi dan Teorinya tentang Maslahat, dalam www.yusdani.com, diakses 13 November 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar